REPUBLIKA.CO.ID, Oleh -- Ilham Bintang, Jurnalis Senior, Pengasuk Cek & Ricek, dan Ketua Dewan Kehormatan PWI
Kepada anak-anak, menantu-menantu, dan cucu-cucu, saya bercerita. Di tengah pandemi virus corona, pengalaman puasa Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 tahun ini, sungguh sangat berharga. Kalian amat beruntung mengalami peristiwa yang terjadi sekali dalam siklus satu abad — berpatokan pada Flu Spanyol 1918-1920. Kakek- nenek kalian yang lahir setelah 1920 pun tidak mengalami ini.
Flu Spanyol terjadi di masa akhir Perang Dunia I, dibawa oleh tentara AS ke Spanyol. Dinamai Flu Spanyol karena pandemi itu merenggutkan jiwa Presiden Spanyol masa itu. Selama tiga tahun, virus flu menjangkiti ratusan juta penduduk dunia, dan menewaskan sekitar 50 juta jiwa. Penduduk Indonesia pun di beberapa daerah, banyak yang terjangkit dan terenggut jiwanya. Korban demikian besar karena ilmu kedokteran belum semaju sekarang. WHO sejak dini sudah mengeluarkan protokol kesehatan untuk meredam penyebaran wabah corona itu. Beberapq negara memberlakukan lockdown atau PSBB ( Pembatasa Sosial Berskala Besar ) di Indonesia. Berlaku protokol kesehatan hindari kerumunan : jaga jarak, pakai masker, dan cuci tangan. Itu sebabnya sekolah dilburkan, bahkan ibadah dianjurkan di rumah saja.
Bergantian Silaturahmi
Saya bercerita mengenai flu Spanyol itu ketika anak, menantu, dan cucu-cucu datang bergiliran secara fisik ke rumah. Tidak semuanya memang. Si bungsu Suri Adlina yang sekolah di Melbourne, Australia bersilaturami lewat video call. Tamu pertama ke rumah, keluarga putera ketiga, Fikar Rizky Mohammad. Ia datang dengan isterinya, Nadya Gita Amalia, dan tiga puteranya, Trio 3 D ( Dastan, Darsiv, dan Dahim).
Dia bergegas ke rumah setelah salat Ied berjamaah di rumahnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya menjadi imam Salat Ied. Dua abangnya juga demikian. Menjadi imam salat Ied di rumahnya masing-masing. Subhanallah. Kami terharu melihat foto-fotonya. Itu jelas hikmah besar: pengalaman pertama kali dalam hidup masing-masing.
Kami juga baru selesai salat Ied ketika mereka bergantian ke rumah. Tapi, kami salatnya sendiri-sendiri. Lalu, menyusul keluarga Yassin Yanuar Mohammad bersama isterinya, Ratu Abigail Audity, dan tiga anaknya, Trio 3 R ( Rania, Raihan, dan Raisha). Yang terakhir, Rezanades Muhammad dengan isteri, Wulandari, dan dua anak, 2A ( Aisha dan Arslan). Dengan kakak dan adik-adik kandung dan keluarganya masing-masing kami bersilaturahmi via video call ( Zainal, Farida, Yunita, Firman, Fadlan, Faidal) diseling dengan apalikasi Zoom.
Protokol ketat
Dengan anak - anak, kami sebenarnya bertetangga, tinggal di satu komplek. Jarak terjauh 500 meter. Namun, sejak Gubernur DKI Anies Baswedan memberlakukan social distancing, 16 Maret lalu, praktis sejak itulah kami tidak pernah bertemu secara fisik. Jangan tanya bagaimanw kami memendam rindu. Komunikasi selama lebih dua bulan dilakukan hanya lewat video call.
Putera dan menantu kami kebetulan dokter, membuat protokol yang amat ketat. Saya khawatir lebih ketat dari WHO sendiri. Mereka punya alasan, saya dan isteri usia rentan, sementara mereka dan anak-anaknya usia yang berpotensi sebagai carrier atau pembawa virus. Ketiganya memang aktif bekerja, berhubungan dengan banyak pihak, meski tidak melalaikan protokol.
Silaturahmi Lebaran pagi tadi saja kami diskusikan dahulu. Mirip birokrasi pemerintah pusat yang ribet tiap kali memutuskan menerima permohonan PSBB maupun pelonggarannya.
Di belakang rumah kami, ada halaman kosong, posisinya diapit rumah yang kami tinggali dengan rumah sang dokter. Semalam saya sudah memasang empat meja panjang berikut kursinya untuk dipakai silaturahmi. Tiap keluarga menempati satu meja dengan jarak tiga meter masing- masing. Ketika saya tawarkan, sang dokter tetap keberatan. Dia khawatir anak-anak tidak bisa dikendalikan. Baru tadi pagi dia menyetujui itu setelah meninjau sendiri lokasinya. Alasan dokter ada benarnya. Kami alami tadi pagi, memang. Dahim, cucu paling bungsu mengamuk tak terima tidak berpelukan. Padahal, sudah berkali- kali mendekat minta digendong. Sampai dia tinggalkan rumah tadi, Dahim masih menangis.
Titik pertemuan di halaman belakang rumah akhirnya terlaksana. Dengan protokol kesehatan tetap : jarak fisik minimal dua meter. Cucu Trio 3 D ( Rania, Raihan, dan Raisha) sempat “konser” depan kami: menyanyikan lagu “ Selamat Lebaran”.
Alhamdulillah. Maha Besar Allah SWT. Engkau memberi kami nikmat di dalam keterbatasan silaturahmi Idul Fitri 1441 di era New Normal.
Saat itulah saya bercerita kepada anak dan cucu-cucu. Pengalaman ini sungguh unik. Belum pernah kami alami juga jutaan orang. Semoga menjadi kenangan indah kelak.
Nikmat lain: inilah untuk pertama kalinya ART ( Asisten Rumah Tangga) dan suster-suster mereka tidak ada yang mudik. Padahal, selama ini urusan ART selalu menjadi kegentingan mendesak tiap rumah tangga setiap kali lebaran tiba : pembantu dan suster wajib mudik. Paling sedikit seminggu sebelum lebaran kembali seminggu setelahnya. Itu masih beruntung kalau balik.
Mereka — para ART — ini juga cepat menyesuaikan diri. Mereka bersilaturahmi dengan keluarganya masing-masing lewat video call. Yang di luar dugaan sama sekali, ART kami mengenakan pakaian serba baru saat melayani tadi pagi. Bagaimana caranya? “ Beli dari online,” sahutnya. Tiga pasang lagi. Sedangkan kami tidak menemukan solusi itu. Jadilah untuk pertama kalinya kami tidak belanja baju lebaran. Padahal, hampir tiap tahun, setidaknya, isteri menyediakan seragam untuk dipakai keluarga besar.
Beruntung, Audy mengirimi kami bingkisan masing-masing sehelai baju gamis. Itulah yang kami pakai tadi menerima mereka. Soal solusi belanja online itu meninggalkan pertanyaan. Mengapa solusi itu tidak digunakan oleh jutaan warga di seluruh Indonesia yang menyerbu pasar dan pertokoan justru dua tiga hari menjelanh lebaran. Membuat wibawa pemerintah daerah seperti hilang di seluruh Indonesia.
Tapi, sudahlah, apa hendak dikata. Padahal, masyarakat Indonesia sebenarnya dikenal dengan kultur paternalistik. Follow the leader. Mengikut apa kata orang tua atau pemerintah. Saya tidak tahu apakah ada hubungannya dengan sikap pemerintah sendiri yang maju mundur dalam urusan PSBB? Termasuk sikap MUI sendiri yang selalu mengambang, tidak pernah ada ketegasan soal salat Ied.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahilhamd. Maha Suci Engkau Ya Allah. Terima kasih atas segala nikmatMu, Atas segala kehendakMu di tengah keterbatasan ini.
Semoga gemuruh takbir dan takhmid yang memuji kebesaranMu sejak Sabtu petang semalam hingga salat Ied , Minggu (24/5) pagi adalah pertanda perintahMu mengusir pandemi corona dari negeri ini. Segera. Semoga.