REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Daud Aris Tanudirja, mengatakan pelestatarian cagar budaya perlu juga memikirkan masyarakat di sekitarnya. Di dalam pelestarian, masyarakat juga harus diberdayakan dan mendapatkan manfaat dari proses revitalisasi cagar budaya.
Di dalam kajian warisan budaya internasional, Daud menjelaskan, revitalisasi adalah proses pemaknaan baru. Pemaknaan baru ini artinya adalah warisan budaya tidak hanya dilihat sebagai bendanya saja namun juga dampaknya terhadap lingkungan.
Pelestarian tidak hanya soal cagar budayanya. Ia mengatakan, saat ini ada kesadaran baru bahwa nilai-nilai dari warisan budaya itu harus dikembangkan supaya bermanfaat pada masyarakat.
"Keberhasilan pelestarian warisan dunia kalau menurut UNESCO adalah menjadikan warisan dunia sebagai sumber daya pembangunan berkelanjutan," kata Daud, dalam sebuah diskusi daring Revitalisasi Nilai Situs Manusia Purba Sangiran, Rabu (27/5).
Selain itu, tambah dia, revitalisasi juga tidak boleh bertentangan dengan tujuan pelestarian. Konteks revitalisasi di Indonesia lebih dikaitkan pada satu ruang atau bangunan.
"Tapi dalam konteks Sangiran, kita melihat ruang ini lebih pada ruang yang sifatnya lebih luas," kata dia menegaskan.
Ia menegaskan, sebuah revitalisasi pada cagar budaya harus memberikan manfaat dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, revitalisasi juga harus mempertahankan budaya lokal.
"Kalau kita merevitalisasi, tapi masyarakat tidak merasakan, itu ebetulnya percuma," kata Daud.
Ia berharap, warisan budaya tidak hanya menjadi beban yang harus dijaga, namun juga menjadi peluang kerja. Masyarakat di sekitar harus menyadari nilai penting dari cagar budaya itu sendiri.
Menurut Daud, apabila cagar budaya itu tidak memiliki nilai penting bagi masyarakat, maka yang timbul hanyalah konflik. Pertentangan dari masyarakat akan muncul karena merasa cagar budaya menjadi warisan budaya namun mereka tidak mendapat apapun dari nama tersebut.
Jadi, lanjut dia, masyarakat harus terlibat dalam pengelolaannya. "UNESCO pun menyadari nilai penitng tidak akan bisa lepas dari masyarakat. Pelestariannya pasti akan melibatkan masyarakat setempat. Maka, mereka memberikan konsep baru bahwa warisan budaya sebagai pembangunan berkelanjutan," kata dia lagi.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Sukronedi memiliki pendapat serupa. Di dalam revitalisasi ada tiga aspek pengembangan yang penting, yaitu penelitian, revitaliasi, dan adaptasi.
Khususnya, lanjut dia, untuk menguatkan kembali nilai-nilai penting yang terkandung dalam cagar budaya itu. "Itu yang perlu kita kuatkan. Nilai penitng itu. Jangan sampai nilai penting mengalami degradasi atau penurunan kualitas," kata Sukronedi.
Kasi Pengembangan BPSMP Sangiran, Septina Wardhani menjelaskan, beberapa langkah untuk mengikutsertakan masyarakat sudah dilakukan. Ia mencontohkan perempuan di sekitar situs memiliki kerajinan tenun. Menurutnya, potensi ini bisa dikembangkan ke depannya untuk memajukan cagar budaya sekaligus menguntungkan masyarakat.
Selain BPSMP Sangiran, menurut Septina pemerintah Sragen juga telah berupaya mengikutsertakan masyarakat. Pemerintah Sragen juga mencoba untuk merevitaliasi nilai situs Sangiran melalui media batik.
"Media kain yang menggambarkan tentang evolusi manusia purba dan gading-gading yang ditemukan di Sangiran," kata Septina.
Ia menegaskan, suasana di sekitar situs Sangiran juga sangat menarik untuk dinikmati. Di Sangiran, masih banyak ditemukan rumah kayu sederhana dan suasana masyarakat desa yang bercocok tanam di sawah.
"Suasananya alami dan itu tidak dibuat-buat," kata dia lagi.