REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Najib Azca, Dosen Sosiologi UGM
Aku tahu bagimu momen pertambahan umur mungkin tak penting-penting banget. Tapi aku ingin memberimu ‘kado kecil’ yang mungkin juga tidak berarti: sebuah puisi lamamu yang pernah dilagukan dengan bersahaja oleh sobatmu Ebiet G.Ade di sebuah kaset rekaman lawas. Hanya diiringi petikan gitar akustik dan suara harmonika. Tapi sepertinya lagu itu tak bisa lekang dari ingatanku—meski pertama kudengar mungkin awal tahun 1980an atau bahkan akhir 1970an dan tak pernah direkam untuk khalayak luas hingga kini.
Seingatku pada waktu itulah aku pertama mendengar namamu, Emha Ainun Nadjib, juga sedikit mengenal puisi-puisimu. Kebetulan kakak sulungku mas Rifqi (yang kini menjadi dokter spesialis jantung di Semarang) semasa remaja aktif di komunitas seni dan teater yang diasuh oleh EH. Kartanegara, sobat lawasmu di Jogja yang asal Pekalongan. Nah, dari lingkaran pergaulan seni di Pekalongan itulah aku ikut menikmati musikalisasi puisi-puisimu yang dinyanyikan dengan indah oleh Ebiet.
Perkenalanku denganmu dan karya-karyamu bertambah pada saat teman-teman aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) di Kota Pekalongan mengadakan pameran buku dan pentas seni pada sekitar tahun 1983. Kami bekerjasama dengan Mas Adil Amrullah, adikmu, yang waktu itu mengadakan pameran buku keliling ke berbagai kota sambil membawa rombongan Teater Dinasti yang engkau komandani. Aku ingat engkau mementaskan pembacaan puisi yang memukau penonton dengan iringan musik unik yang berasal dari seperangkat gamelan plus instrument musik modern.
Terinspirasi oleh ulah dan kreativitasmu, aku dan sejumlah remaja di Pekalongan pernah membuat grup musik puisi bertajuk Teater AlifBaTa. Kami mementaskan pembacaan puisi dengan diringi musik gamelan kontemporer. Penyair muda berbakat Samsuddin Furoni bertindak sebagai pembaca puisi sedang aku dan teman-teman memainkan musik yang mengirinya.
Perkenalanku dengan sosok budayawan multi talenta Cak Nun makin dekat setelah aku mulai berkuliah dan menjadi aktivis kampus di UGM sejak tahun 1987. Aku ingat pada masa awal kuliah itu aku sempat diberi tugas berat tapi keren (hehe) untuk menjadi moderator sebuah forum apresiasi seni yang menghadirkan Cak Nun dan Pak Damardjati Supadjar, seorang dosen filsafat yang dikenal mendalami budaya Jawa, di UC UGM.
Belakangan perkenalan lebih dekat dan personal terjadi ketika aku menjadi jurnalis di tabloid mingguan DeTIK pada 1992-1994 dan Cak Nun menulis kolom tetap berjuluk Opini Plesetan (OPLES). Jika sedang berada di Jakarta engkau sering menginap di kantor DeTIK di jalan Gondangdia, Jakarta Pusat, bersama para jurnalis yang kebanyakan masih bujangan. Kadang hanya beralaskan koran saja engkau tidur di atas meja atau menggeletak di kursi-kursi yang dijajarkan. Hubungan baik itu terus berlanjut saat aku menjadi redaktur opini di tabloid ADIL pada 1996-1998 yang dinahkodai oleh sohib lawasmu EH Kartanegara.
Begitulah: hubungan baik yang lebih dari sekadar relasi kerja itu terus berjalan. Termasuk ketika budayawan santri jebolan pondok Gontor itu belakangan menghidupkan komunitas Maiyah di berbagai kota di Nusantara. Ia sabar dan tekun merawat jamaah kaum muda yang haus sentuhan keagamaan yang segar dan tidak bercorak kaku dan formalistik.
Pada saat EHnKartenegara bergabung dengan Jamaah Maiyah di Jogja pada 2013-2014 aku sempat diundang hadir dan didapuk naik panggung di acara Mocopat Syafaat di Kasihan Bantul. Aku juga sempat diundang hadir dalam sejumlah acara di Markas Kadipiro, termasuk pada acara ulang tahun Cak Nun ke 60 yang digelar terbatas.
Semuanya persentuhan dan pergumulanku dengan sosok multi dimensi Cak Nun meninggalkan jejak unik dalam perjalanan kultural dan spiritualku. Dengan cara-cara yang unik dan tak lazim aku belajar dari sosok yang belakangan acap dipanggil Mbah Nun itu—lantaran sebagian besar warga jamaah Maiyah masih belia dan berjarak umur jauh darinya.
Sebagai ungkapan takzim dan terima kasih, juga sebagai ikhtiar merawat kenangan atas lagu yang tak banyak orang tahu, malam ini aku mencoba menyanyikan kembali lagu lawas itu dan mengirimkannya sebagai ‘kado ulang tahun’ kepadamu, Cak Nun.
Maaf jika suaraku terdengar fals atau slenco dalam merekonstruksi nada-nada dalam lagu kenangan itu. Bagiku lagu yang digubah Ebiet itu terdengar unik dan indah dengan lirik puisi yang amat kuat mengirimkan pesan: tentang misteri dan kegelapan sebagai kepastian dalam kehidupan. Sangat relevan sekali dengan peristiwa dan momen pandemi yang sedang kita alami hari-hari ini; yang kita tak tahu persis mula terjadinya dan kapan bakal sirna dari muka bumi.
Pada saat merekonstruksi bait-baik dalam lagu tersebut aku terbantu oleh kepustakaan digital. Rupanya pagina Maiyah Nusantara pada 8 November 2019 memuat puisi yang konon di ciptakan pada 1977 di Salatiga. Tidak tertulis judul puisi itu, hanya bait pertama yang ditulis dengan huruf kapital: JIKA AKU HARUS MEMILIH.
Maka aku pun makmum saja karena tak ingat judul aseli lagu itu. Namun pada saat menyanyikan lagu itu, jika terjadi perbedaan antara ingatan dan catatan, aku memenangkan ingatanku tentang lagu itu.
Berikut bait-bait puisinya:
Jika aku harus memilih
Maka daripada cahaya benderang
Aku memilih kegelapan
Apa yang aelapan kan terjadi nanti?
Satu menit mendatang ialah misteri
Hari besok ialah kegelapan
Maka karena di dalam kehidupan
Aku harus berjalan ke depan
Akupun selalu berhadapan dengan kegelapan
Cahaya tidak ada di ruang
Tidak ada di waktu
Hanya ada di dalam diriku
Sedang di depanku ialah kegelapan
Yang mengandung ketakterhinggaan
Tempat aku menangis sepanjang zaman.
(Puisi CN, Salatiga 77)
Selamat ulang tahun Cak Nun. Semoga selalu dikaruniai kesehatan dan keberkahan hingga akhir usia. Amin.
----------
Lojajar Indah, 27-28 Mei 2020