Kamis 28 May 2020 20:27 WIB

Benarkah Gelombang Kedua Covid-19 Bisa Lebih Parah?

WHO mengatakan infeksi virus corona bisa saja melonjak tiba-tiba.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Qommarria Rostanti
Ilustrasi Penyebaran Virus Corona.
Foto: MgIT03
Ilustrasi Penyebaran Virus Corona.

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Ahli penyakit menular memastikan virus corona akan melonjak ketika musim panas berakhir. Namun, mereka tidak mengetahui seberapa parah kebangkitan itu terjadi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menawarkan satu hipotesis mengkhawatirkan untuk beberapa bulan ke depan dari virus corona. Saat ini, masyarakat di berbagai negara masih berjuang melalui gelombang pertama pandemi.

Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO, dr Mike Ryan, mengatakan kasus-kasus positif corona masih meningkat. Menurut dia, infeksi virus corona bisa saja melonjak tiba-tiba. "Kita mungkin menghadapi puncak kedua dengan cara ini," ujarnya seperti dilansir di laman CNN, Rabu (27/5).

Puncak kedua tidak akan terungkap dengan rapi atau bertahap seperti gelombang pertama. Puncak baru berarti ada lonjakan terjadi mendadak yang dapat membebani sistem perawatan kesehatan. Bukan tidak mungkin, akan lebih banyak kematian. Puncak kedua bisa lebih buruk dibandingkan yang pertama.

Dalam skenario puncak kedua, kasus-kasus positif virus corona akan meningkat tajam dan cepat hingga mencapai puncak baru. Pada gelombang kedua, infeksi dapat terungkap lebih lambat dan berdampak pada berbagai wilayah dunia pada waktu berbeda.

"Ketika rumah sakit dan petugas perawatan kesehatan kewalahan, ada kemungkinan lebih tinggi untuk angka kematian," ujar Direktur Departemen Kedokteran Darurat di Universitas Johns Hopkins, dr Gabe Kelen.

Dia mengatakan, satu-satunya alasan untuk meredam puncak kedua ini adalah mencegah kematian yang memang dapat dicegah. "Sehingga sistem perawatan kesehatan dapat menangani semua orang yang membutuhkan dan memberi mereka peluang terbaik," Kelen.

Hal lain yang membuat virus corona diprediksi melonjak yaitu musim flu sepanjang musim gugur dan musim dingin. Kelen menyebut, virus pernapasan yang beredar pada saat yang sama membuka kemungkinan terinfeksi salah satunya semakin besar.

Di AS, ada 410 ribu hingga 740 ribu pasien rawat inap flu selama musim flu 2019 sampai 2020, yang berlangsung dari Oktober hingga April. Data tersebut berasal dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS.

"Dari sudut pandang perawatan kesehatan, musim flu biasanya merupakan masa yang sangat sulit karena ada begitu banyak orang sakit," kata Kelen.

"Musim flu dalam menghadapi Covid-19, itu akan menjadi tantangan nyata," ujarnya lagi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement