REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu
Pukul 05.37, hari Selasa, 29 1453 bertepatan dengan 20 Jumadil Ula 875 Hijriah. Sebelum matahari terbit, Sultan Muhammad Al-Fatih di atas kudanya mengucapkan doa mengagungkan Allah. Diiringi guru, sahabat, dan para pasukannya, Al-Fatih mengendarai kudanya memasuki Kota Konstantinopel.
Dari bibir pemuda yang pagi itu belum genap 21 tahun, tak ada lafaz yang diucapkan kecuali "Masya Allah", ketika ia kagum dengan kebesaran Kota Konstantinopel. Semua yang didapatkan pagi itu tak lain adalah bisarah Rasulullah dan tentu saja kuasa Allah.
"Alhamdulillah, semoga Allah senantiasa merahmati para syuhada, memuliakan para mujahidin, serta memberikan kebanggaan dan syukur bagi rakyatku," kata Al-Fatih.
Ia kini menjadi bagian dari janji Rasulullah tentang sabdanya yang diriwayatkan HR Ahmad, 800 tahun sebelumnya, "Akan dibebaskan kota Konstantinopel oleh kalian, sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, sebaik-baik pasukan adalah pasukan itu."
Tanggal 29 Mei 1453 adalah puncak perjuangan umat Islam yang terus berusaha selama ratusan tahun untuk mewujudkan bisarah Rasulullah. Dan pembebasan itu menjadi salah satu tonggak sejarah kebesaran Islam yang diingat negara-negara adidaya kala itu. Pembebasan itu pula menjadi bukti bahwa Rasulullah tidak berdusta dan berkhayal. Mana mungkin seorang Rasulullah akan berdusta. Karena itu, bagi seorang Muslim, apa pun yang dijanjikan oleh Rasulullah, pasti akan terjadi.
Mundur delapan abad sebelumnya, janji Rasulullah tentang pembebasan Konstantinopel terucap di sela-sela persiapan perang Khandaq. Saat itu Rasulullah ditanya salah seorang sahabat.
"Ya Rasul, mana yang lebih dahulu jatuh ke tangan kaum Muslimin, Konstantinopel atau Romawi?" Nabi menjawab, "Kota Heraklius (Konstantinopel)." (Hadits riwayat Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim). Dan hampir 800 tahun kemudian bisyarah Rasulullah terbukti.
Dengan kekuatan tak kurang 100 ribu pasukan, pasukan kekalifahan Utsmani di bawah komando Mehmed II, panggilan Muhammad Al-Fatih, menaklukkan jantung peradaban Kristen terbesar saat itu. Mirip Tembok Besar di Cina, Kota Konstantinopel dinaungi benteng yang terbentang sejauh total 20 kilometer guna menghindari serangan musuh. Benteng itu pun berlapis tiga bagian. Serangan pasukan Al-Fatih sudah dimulai sejak 6 April atau lebih dari sebulan sebelumnya tanpa hasil memuaskan.
Tak mudah menundukkan Konstantinopel. Upaya penaklukan bahkan sudah dilakukan sejak tahun 44 Hijriah pada era Muawiyah bin Abu Sofyan.
Pasukan artileri Al-Fatih gagal menusuk dari sayap barat lantaran diadang dua lapis benteng kukuh setinggi 10 meter. Mencoba mendobrak dari selatan Laut Marmara, pasukan laut Al-Fatih terganjal militansi tentara laut Genoa pimpinan Giustiniani. Sadarlah Al-Fatih, titik lemah Konstantinopel adalah sisi timur yakni selat sempit Golden Horn (tanduk emas).
Selat ini dibentang rantai besar, memusykilkan armada kecil sekali pun untuk melewatinya. Tapi Al-Fatih saat itu usianya 21 tahun tak kehabisan akal.
Ia membawa kapal-kapalnya dari laut ke darat, demi menghindari rantai besar. Sebanyak 70 kapal digotong ramai-ramai ke sisi selat dalam waktu singkat pada malam hari. Inilah awal dari kejatuhan Konstantinopel yang fenomenal.
Jatuhnya Konstantinopel menjadi pintu gerbang bagi kekalifahan Utsmani untuk melebarkan sayap kekuasaanya ke Mediterania Timur hingga ke semenanjung Balkan. Peristiwa ini kelak menjadi titik krusial bagi stabilitas politik Utsmani sebagai kekuatan adikuasa kala itu, jika bukan satu-satunya di dunia. Tanggal 29 Mei 1453 juga ditandai sebagai era berakhirnya Abad Pertengahan.
Nama Konstantinopel kemudian diubah menjadi Istanbul yang berarti Kota Islam. Istanbul, kerap dilafalkan Istambul, kemudian sebagai ibu kota kekalifahan Utsmani hingga kejatuhannya pada 1923. Kota pelabuhan laut ini menjadi pusat perdagangan utama Turki modern saat ini.
Secara geografis, wilayah Istanbul 'terbelah' dua dan masing-masing terletak di Asia dan Eropa. Berpenduduk hingga 16 juta jiwa, Istanbul adalah salah satu kota terpadat di Eropa.