REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar
Jawa Tengah menjadi pusat peredaran kopi palsu pada 1930-an. Maka, mulai 20 Juli 1937 dilakukanlah kampanye mengonsumsi kopi murni di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Ada Grobogan, Demak, Kudus, Jepara, Rembang, Blora, Semarang, Magelang, Ngawi, Surakarta, dan Yogyakarta.
Di daerah-daerah itu, masyarakat mengonsumsi kopi bubuk yang 90 persen, bahkan 100 persen, merupakan bubuk jagung. Jagung yang disangrai dalam keadaan benar-benar gosong, aromanya diakui benar- benar mirip aroma kopi.
Harga jagung kupas per Januari 1938 sebesar 2,5 gulden per pikul. Satu pikul setara 100 kati. Satu kati setara 600 gram.Berarti, satu pikul setara 60 kg.
Untuk menghentikan peredaran kopi palsu itu, pemerintah telah melaku kan 127 kegiatan kampanye sejak Juli hingga akhir 1937. Kampanye rata-rata diadakan di pasar atau alun-alun yang memungkinkan banyak orang berkumpul. Ada 58 pedagang/penyangrai kopi yang berpartisipasi di kegiatan ini. Ada 45.452 cangkir kopi murni yang diseduh, lalu dibagikan gratis kepada peserta kampanye. Di setiap kampanye rata- rata diseduh 358 cangkir kopi murni.
Selama setahun, pemerintah mengangkat 490 agen kampanye kopi murni. Hingga awal Februari 1940, sudah ada sekitar 5.000 agen. Agen- agen ini menjual kopi murni dengan merek dagang kampanye Kahwa.
Agen-agen itu terdiri atas pedagang dan penyangrai kopi. Mereka berkesempatan menjual kopi murni dengan menggunakan merek dagang kampanye, dengan cara kontrak dan mendapatkan hak afiliasi pengemasan dengan pencantuman alamat penyangrai/agen. Jika ada pelanggaran dalam penggunaan merek ini, akan ada denda dari Komisi Kampanye Kopi Hindia Belanda.
Petugas kampanye selalu mendatangi mereka. Mereka akan ditanya asal kopi yang mereka pakai dan mengambil sampel kopi yang dijual menggunakan merek dagang kampanye Kahwa. Pemeriksaan kemurnian kopi dilakukan di Malang.
Sasaran kampanye antara lain tentara, hotel, restoran, dan masyarakat umum. Selain ceramah, dilakukan pula pemuataran film proses pengolahan kopi dan tentu saja penyeduhan kopi. Yang ada masih berupa kopi tubruk, jenis seduh yang sudah memasyarakat saat itu.
Bubuk kopi ditaruh di gelas lalu diberi gula lalu diseduh dengan air panas. Masyarakat meminumnya dengan cara menutupkan cawan di atas gelas, lalu membalikkannya. Sedikit demi sedikit, kopi dari dalam gelas akan memenuhi cawan. Dengan memegang cawan dan gelas terbalik berisi kopi, orang-orang menyeruput kopi di cawan. Melihat pemberitaan di koran- koran, cara minum kopi tubruk seperti ini sudah ditulis pada awal 1930-an.
Kampanye ini dilakukan menggunakan truk Ford seberat 1,5 ton yang dilengkapi dengan gramofon listrik, pengeras suara, agregat pengha sil listrik, penggiling kopi, penyangrai kopi, biji kopi, cangkir, piring, gula, dan sebagainya, termasuk tenda lipat besar yang bisa dipasang di bagian bela kang truk, berikut dengan meja lipat.
Dari kota ke kota, truk ini dibawa keliling menjadi warung kopi bergerak. Untuk daerah-daerah yang tak bisa dicapai dengan truk karena jalannnya yang sempit, digunakanlah mobil kecil. Untuk mendukung kampanye ini, diputar pula film tentang pemrosesan kopi.
Kampanye ini dinilai lebibh efektif daripada dengan memasang iklan di media massa. Dengan kampanye ini, masyarakat diajak berhenti mengonsumsi kopi palsu, berganti mengonsumsi kopi murni. Biaya kampanye yang disediakan mencapai lebih dari 20 ribu gulden untuk kampanye di Jawa dan sekitar 275 gulden untuk kampanye.
Sebelum diputuskan adanya kampanye, pada 1936 dilakukan survei kopi yang mendapati banyaknya kopi yang beredar adalah kopi palsu. Pedagang mengambil untung dengan cara menjual kopi bubuk yang 90-100 persennya adalah bubuk jagung.
Komisi Kampanye Kopi pun kemudian melihat perdagangan kopi di Jepang dan Australia dengan mengirim daftar pertanyaan kepada para eksportir kopi. Kementerian Urusan Ekonomi pun meminta data ke konsulat Belanda yang ada di Jepang dan Australia.