Sabtu 30 May 2020 08:08 WIB

Tindakan Teror Terhadap Insan Akademik Dikutuk Keras

Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Agus Yulianto
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan teror terhadap insan akademik dan penyelenggara diskusi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mendapat kecaman dan kutukan keras. Adalah Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI); Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM); Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indoneska (ADPHI) yang menanggapi tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu kepada panitia penyelenggara kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) yang diselenggarakan kelompok studi mahasiswa “Constitutional Law Society” Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, pada Jumat (29/5).

Dalam peristiwa ini, panitia yang keseluruhannya merupakan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengalami tindakan intimidasi dan ancaman verbal untuk mengubah judul kegiatannya, yang pada awalnya bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan,” hingga berujung pada pembatalan kegiatan. Salah satu perwakilan, Zainal Arifin Mochtar  menegaskan, kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik.

Bahkan, kata Zainal, kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum Hak Asasi Manusia universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia. Oleh karenanya, mereka mengutuk keras segala bentuk tindakan intimidasi dan ancaman yang dilakukan kepada penyelenggara kegiatan diskusi akademik yang diselenggarakan oleh kalangan civitas akademika.

"Kami menuntut adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi dan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik," kata Zainal dalam keterangannya, Jumat (29/5).

Terutama, kata dia, yang tercantum pada prinsip ke- 4 yakni insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan. Serta prinsip ke-5, yakni otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.

"Kami meminta pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik yang diselenggarakan civitas akademika sebagai bagian dari kebebasan akademik penuh," tegasnya.

Dia menjelaskan, dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Terlebih, di dalam dunia akademis, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik, yang secara tegas diakui oleh negara yang tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 ayat (1) menyatakan: “Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.”

Kebebasan akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988). Namun dewasa ini, tekanan terhadap kebebasan akademik masih menyisakan persoalan yang rumit.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement