REPUBLIKA.CO.ID, SAN DIEGO -- Ebola merupakan salah satu virus dengan tingkat penularan dan kematian yang tinggi di dunia. Infeksi virus tersebut dalam tubuh seseorang ditandai dengan demam, muntah, diare, hingga pendarahan internal
"Saya tertarik pada bagaimana virus ini bekerja di dalam tubuh hingga dapat menyebabkan kematian yang begitu mengerikan," kata profesor dari Universitas Ourdue, Amerika Serikat, Robert Stahelin seperti diwartakan laman Eurekalert, Selasa (3/6).
Stahelin merupakan, intelektual yang meneliti beberapa virus mematikan yang hidup di dunia ini. Dia menjelaskan, cara virus Ebola berinteraksi dengan lipid di dalam tubuh manusia serta bagaimana obat-obatan yang ada memblokir infeksi Ebola dalam sel.
Stahelin memaparkan, ebola merupakan keluarga virus filoviridae di mana mereka memiliki selaput lipid. Selaput tersebut merupakan rampasan dari lipid yang berada dalam tubuh manusia selama masa infeksi.
"Saya tertarik bahwa virus itu dapat mengambil lipid manusia dan menggunakannya sebagai mantel pelindung," kata Stahelin lagi.
Untuk alasan keamanan, Stahelin tidak bekerja dengan virus Ebola langsung. Dia meneliti tujuh kombinasi gen sehingga virus tidak dapat sepenuhnya ditiru. Fokus terbarunya adalah pada protein VP40 Ebola, yang dikodekan oleh salah satu dari tujuh gen tersebut.
Stahelin mengatakan, VP40 membentuk lapisan matriks virus dan lapisan protein di bawah selaput lipid. Hal itu bertanggung jawab untuk merampas dan mengambil membran lipid milik inang untuk dibuat selaput virus yang panjang.
Stahelin menemukan bahwa bagian dari protein VP40, yang dibuat di dalam sel inang selama infeksi merupakan zat penting dalam proses perampasan lipid tersebut. VP40 mengambil lipid tertentu dari manusia yang disebut phosphatidylserine atau "PS".
VP40 mengganggu interaksi PS dalam tubuh manusia terinfeksi. VP40 tersebut lantas mengurangi kemampuan PS untuk membentuk pelindung virus.
Untuk mendukung penjelasannya itu, Stahelin meneliti interaksi dua obat yang disetujui Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) terhadap virus Ebola. Hasilnya, kedua obat tersebut cukup bagus dalam memblokir replikasi virus agar tidak menyebar dalam sel tubuh manusia.
Dia mengatakan, meskipun vaksin Ebola yang efektif telah disetujui pada Desember 2019, namun masih sulit untuk menyebarluaskan vaksin itu di Afrika. Benua hitam merupakan lokasi di mana sebagian besar wabah Ebola terjadi.
Stahelin mengatakan, distribusi vaksin tersebut akan sangat membantu untuk memiliki pengobatan profilaksis bagi siapa pun pasien yang terpapar. Ia mengungkapkan, hal tersebut juga bisa mengantisipasi pasien Ebola yang bepergian ke luar negeri sebelum menunjukkan gejala.
"Obat-obatan ini atau dalam kombinasi mungkin efektif dalam menghalangi virus pada manusia. Anda mungkin akan meminumnya setelah gejala atau jika orang terpapar dan tidak divaksin," katanya.