Senin 08 Jun 2020 07:30 WIB

Pengidap Xenomania Bahasa

Penggunaan kosakata kosakata asing bertebaran dalam medium komunikasi apa saja.

 Buku pelajaran Bahasa Indonesia (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Buku pelajaran Bahasa Indonesia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Santi Pratiwi T. Utami, M.Pd., Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Perkembangan zaman turut memberi pengaruh pada perkembangan bahasa Indonesia, terutama dalam penggunaannya sebagai media berkomunikasi. Dalam aktivitas berbahasa kini, bisa jadi sebagian besar pengguna bahasa Indonesia akan kebingungan memaknai, bila disodori kosakata: lokapasar, mancakrida, calir, atau takarir. Padahal, semua kosakata tersebut terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi V (terbaru). Bandingkan bila kosakata yang disodorkan ialah istilah asalnya: marketplace, outbound, lotion, atau caption. Lebih familier bukan?

Masyarakat memang pengguna bahasa yang merdeka. Celakanya, sebagian besar cenderung menyerap dengan “suka cita”. Mereka “menelan” mentah-mentah kosakata kosakata asing dan tunduk dalam penggunaannya. Akibatnya, penggunaan kosakata kosakata asing bertebaran dalam medium komunikasi apa saja. Sebuah kondisi yang cukup rawan di tengah-tengah upaya masif pengutamaan bahasa Indonesia.

Fenomena tersebut bernama Xenomania (Adib, 2019) atau Xenoglosofilia (Lanin, 2018), yaitu terlampau suka terhadap segala sesuatu yang asing, dalam hal ini kosakata asing. Bila Xenomania diumpamakan sebuah penyakit, saat ini fenomena tersebut bisa dikategorikan pada level kronis. Pun, para kaum Xenomania sudah masuk kategori penderita aktif.

Bagaimana tidak? berikut beberapa contoh kosakata atau istilah asing yang sering kita temui dan gunakan dalam komunikasi keseharian: workshop, drive thru, hashtag, parenting, netizen, cyber, talkshow, personal branding, dan sebagainya. Bila dicermati, padanan kosakata dalam bahasa Indonesia untuk kosakata atau istilah tersebut sudah tersedia. Lalu, mengapa istilah-istilah dalam bahasa asing itu seolah lebih berterima?

Bila ingin menghakimi, alasan agar terkesan intelek, dinilai keren, atau alasan lain yang menimbulkan kebanggaan diri, bisa disangkakan dengan mudah dan cepat. Bila benar, maka kecenderungan mengarah pada sikap negatif masyarakat terhadap bahasa Indonesia. Namun, bukankah tidak tertutup kemungkinan ada penyebab lain? Jangan-jangan masyarakat belum mengenal kosakata baru dalam bahasa Indonesia sebagai padanan dari kosakata atau istilah asing tersebut, misalnya.

Mempromosikan Kata

Kosakata baru dalam bahasa Indonesia yang “bertugas” sebagai padanan dari kosakata atau istilah asing yang tengah membanjiri aktivitas berbahasa masyarakat perlu diperkenalkan. Ibarat barang dagangan, padanan kosakata atau istilah baru perlu dipromosikan, disebarluaskan, atau dipasarkan dengan tujuan utama: dikenali dan (kemudian) digunakan. Contohnya, padanan dari kosakata atau istilah asing yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu lokakarya=workshop, layanan tanpa turun (lantatur)=drive thru, tanda pagar (tagar)=hastag, pengasuhan=parenting, warganet=netizen, siber=cyber, gelar wicara=talkshow, penjenamaan pribadi=personal branding, dan sebagainya. Bagaimana, sudah pernah mengenal?

Selayaknya aktivitasi promosi barang pula, maka diperlukan agen iklan yang mumpuni sehingga dapat menarik minat “calon pembeli”. Dalam fenomena Xenomania bahasa ini, mestinya “pemasar” yang dibutuhkan tidak hanya dilihat dari sisi kualitas, tetapi juga kuantitasnya. Menimbang kualifikasi tersebut, perlu kerja “keroyokan” dari berbagai pihak, yang disertai kemauan besar. Rekan-rekan media massa (jurnalis), misalnya. Mereka diharapkan bisa memosisikan diri sebagai “pengiklan”, mengambil peran, dan turut berkontribusi dalam mempromosikan. Mereka memiliki kekuatan berupa kesegeraan dan keluasan jangkauan, walaupun rendahnya literasi baca juga bisa menjadi tembok penghalang. Selain itu, perlu keteladanan berbahasa yang baik dan benar pula dari para pemimpin (pada tingkat nasional hingga daerah), peran akademisi serta pelaku usaha, dan sebagainya.

Upaya nyata juga telah dilakukan pemerintah, dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dengan menginisiasi Gerakan Pengutamaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik. Gerakan tersebut bisa menjadi “panggung” untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Namun perlu diingat pula, walaupun memiliki kewenangan, jangkauan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui balai-balai bahasa yang ada di seluruh Indonesia tetap tidak akan bisa maksimal tanpa dukungan dari berbagai pihak tersebut.

Bila upaya-upaya mempromosikan padanan kosakata atau istilah baru telah dilakukan, sikap masyarakat penggunalah penentu pamungkasnya. Dalam komunikasi tulis, beberapa pengguna bahasa cermat memberi tanda cetak miring bila menggunakan kosakata atau istilah asing. Ya, sikap baik sebagai upaya menaati kaidah penyerapan. Namun, bila berhenti pada upaya itu saja, tidak akan ada peningkatan dalam upaya

pemartabatan bahasa Indonesia. Pun sama, bila pengguna bahasa tak acuh dengan dalih yang penting mitra komunikasi mengerti.

Upaya nonkompromi dalam pengutamaan bahasa Indonesia di ruang publik juga belum bisa serta merta mengandalkan KBBI secara otoritatif. Sebagian besar pengguna bahasa masih nyaman menggikuti konsensus bahasa yang berkembang di lingkungannya.

Lalu, perlukah tindakan yang bersifat mewajibkan? Sejauh ini, gerakan atau upaya yang dilakukan masih bersifat imbauan. UU No. 24 Tahun 2009 tentang penggunaan bahasa Indonesia (salah satunya), belum memuat aturan pemberian sanksi bila terjadi pelanggaran kebahasaan. Semoga segera ada kebijakan-kebijakan baru sebelum salah satu identitas bangsa ini mati di negeri sendiri.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement