REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Djunijanti Peggie membenarkan isu penurunan serangga yang sudah mulai terlihat. Ia mengatakan, penurunan jumlah serangga disebabkan oleh beberapa hal seperti alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan penggunaan bahan-bahan kimia.
"Penggunaan pestisida dan pupuk sintesis, serta adanya faktor biologis termasuk patogen dan spesies invasif," kata Peggie, dalam keterangan yang diterima Republika.co.id, Ahad (7/6).
Ia mencontohkan, kupu-kupu graphium cordus yang digunakan sebagai foto sampul majalah National Geographic Indonesia pada Mei 2020. Peggie mengatakan, kupu-kupu tersebut bukanlah endemik Indonesia, tidak langka, dan tidak terancam punah.
"Namun, dengan status bukan endemik, bukan langka, dan tidak terancam punah ini pun ternyata jumlah spesimen graphium cordus di Museum Zoologicum Bogoriense hanya ada 21 spesimen dari empat sub-spesies," kata dia.
Ia mengatakan, masih ada empat subs-pesies di pulau-pulau kecil yang belum ada spesimennya di Museum Zoologicum Bogoriense. Kondisi ini menunjukkan bahwa menemukan kupu-kupu tak langka pun sudah cukup sulit.
"Apalagi mendata dan memperoleh spesies yang tergolong endemik dan langka seperti Ornithoptera Croesus yang merupakan spesies endemik di Maluku Utara dan baru dimasukkan dalam daftar spesies dilindungi di Indonesia pada tahun 2018," ujar dia.
Lebih lanjut, ia mengatakan, sudah saatnya seluruh manusia berkontribusi untuk menekan laju penurnan serangga. Sebab, peran serangga sangat besar dalam ekosistem kehidupan di dunia.
Serangga adalah adalah penyerbuk, pengontrol hama, pengelola limbah dan pengurai jasad. Selain itu, serangga adalah makanan bagi hewan lain. "Jadi bayangkan jika serangga punah akan banyak jasad yang menumpuk dan tidak terurai," kata dia lagi.