Kamis 11 Jun 2020 10:00 WIB

Ketahanan Kurikulum Pendidikan di Sekolah Saat New Normal

Jangan gegabah mengambil keputusan menyelenggarakan pendidikan di masa pandemi.

Penjaga sekolah merapikan ruangan kelas. Ilustrasi
Foto: Antara/Novrian Arbi
Penjaga sekolah merapikan ruangan kelas. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Trezadigjaya, S.Pd., M.Si., Guru, Alumni Megister Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia

Tidak adanya kepastian di saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia, membuat dunia pendidikan khususnya sekolah juga harus melakukan reorientasi dalam banyak hal, khususnya penyelenggaraan kurikulum di satuan pendidikan. Meskipun dibuat skema protokoler agar bidang pendidikan tetap berlangsung nanti di masa new normal, namun rencana penyelenggaraan praktik pendidikan secara langsung tatap muka menuai banyak kritikan dan juga penuh kekhawatiran.

Bagaimana tidak? Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan 80 persen sekolah sebagai penyelenggara pendidikan tidak siap dalam menjalankan pendidikan secara tatap muka langsung sesuai protokol kesehatan yang telah  dibuat. Dimulai dari fasilitas kesehatan di sekolah, jaminan sekolah selalu dalam kondisi steril, pengaturan format masuk atau tidaknya siswa di sekolah, hingga penanaman nilai budaya baru kepada siswa di masa new normal nanti.

Dari berbagai survei yang ada mengenai penyelenggaraan pendidikan selama masa pandemi tiga bulan kebelakang saja, muncul ketidaksiapan penyelenggaraan pendidikan, dari akses fasilitas pendidikan, hingga kapasitas dan kualitas guru dalam menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sejauh ini, artinya pendidikan di Indonesia masih terlalu mengandalkan 'kesuksesan' kurikulum lalu, dan tidak memiliki daya tahan kuat terhadap perubahan zaman.

Dunia pendidikan saat ini seolah terdisrupsi oleh teknologi dalam pendidikan itu sendiri, dan tergerus oleh 'kenyamanan' guru pada model pembelajaran tatap muka yang mengandalkan teachers center. Hal tersebut juga bisa tercermin dari survei yang dilakukan KPAI yang menyebutkan 54 persen responden guru setuju jika sekolah kembali dibuka. Saya meyakini bahwa faktor utamanya yaitu ketidaksiapan guru jika harus menyelenggarakan kegiatan pendidikan di rumah atau PJJ dibandingkan dengan pembelajaran tatap muka langsung, terlepas dari faktor berbagai keterbatasan fasilitas dan juga rasa rindu terhadap para siswanya.

Jangan sampai pemerintah gegabah atau terlalu cepat dalam mengambil keputusan menyelenggarakan pendidikan di masa pandemi ini, terlebih tanggal 13 Juli 2020 merupakan tahun ajaran baru. Bahkan hingga saat ini belum ada arahan teknis kepada sekolah bagaimana cara menyelenggarakan pembelajaran tatap muka langsung. Sejauh ini, sekolah sendiri yang melakukan inisiatif menyiapkan pembelajaran tatap muka langsung dengan menerjemahkan protokol kesehatan.

Namun apakah cukup? Tidak, itupun yang dapat menyelenggarakan pendidikan langsung tatap muka hanya sekolah yang berada di zona hijau. Tetap harus ada sentuhan dan arahan langsung pemerintah pusat dalam hal ini untuk menentukan protokol pelaksanaan pembelajaran di sekolah saat masa pandemi.

Dengan berbagai kendala tersebut, pemerintah harus segera melakukan penyesuaian kurikulum baik tatap muka langsung maupun jika harus menyelenggarakan PJJ kembali dengan segala keterbatasan yang ada. Mengapa kurikulum harus disesuaikan? Mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo dalam Rapat Terbatas tentang arah pendidikan beberapa waktu lalu, bahwa pendidikan harus mengikuti tren yang ada. Saat ini (new normal) tidak bisa lagi pendidikan diselenggarakan dengan cara dan metode yang sama seperti sebelum adanya pandemi Covid-19.

Sudah semestinya pemerintah melakukan kajian mendalam untuk menyesuaikan kurikulum pendidikan agar memiliki daya tahan dan fleksibilitas tanpa mengurangi kualitas penyelenggaraan pendidikan itu sendiri. Jangan sampai memaksakan pembelajaran tatap muka langsung meskipun berada di zona hijau, namun praktik pendidikan masih sama dengan apa yang disuguhkan selama masa pandemi tiga bulan ke belakang yang menuai banyak kritikan.

Hal ini menjadi sangat penting, karena siswa yang saat ini menempuh pendidikan di masa pandemi merupakan bagian dari generasi emas 2045. Sudah tentu sumber daya manusia yang ada saat ini harus diberikan akses dan kualitas pendidikan yang bermutu, sehingga harapan Presiden dalam Rapat Terbatas tentang arah pendidikan dapat terlaksana, yaitu membentuk sumber daya manusia yang unggul di masa depan, berkarakter, berakhlak mulia, meneguhkan nilai budaya Indonesia dan Pancasila.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement