REPUBLIKA.CO.ID, Generasi alfa. Inilah istilah untuk anak yang sejak kecil sudah akrab dengan teknologi. Hal ini dibenarkan oleh psikolog anak dan keluarga Rosdiana Setyaningrum MPsi MHPEd. Ia mengatakan, istilah generasi alfa pertama kali dicetuskan oleh sosiolog Australia, Mark McCrindle.
Generasi alfa ini disematkan untuk anak-anak yang lahir pada 2010/2011 sampai 2025. Sebanyak 2,5 juta bayi alfa lahir tiap minggunya. Rupanya, perkembangannya tidak secepat Generasi X yang lahir. Generasi alfa adalah anak-anak dari generasi milenial.
Ciri-ciri anak generasi alfa, di antaranya, technology native yang terbiasa dengan voice assistant. Mereka juga diduga senang membuat konten video, bermain peralatan elektronik, robotik, dan coding. Uniknya, mereka justru tidak terlalu tergantung pada teknologi. Sebanyak 72 persen senang bermain di luar rumah, senang seni dan kerajinan, serta banyak kontak dengan kakek neneknya.
Anak-anak generasi alfa yang lahir dan besar di era kemajuan teknologi akan menghadapi banyak tantangan dan kesempatan di masa depan. Tantangan tersebut, di antaranya, menghadapi pemanasan global, mengalami krisis ekonomi dunia, kemungkinan tidak ada jaminan sosial, dan sebagian bersekolah secara daring karena biayanya lebih murah.
Untuk itu, mereka perlu memiliki kemampuan belajar progresif, yaitu kemampuan belajar yang terus berkembang. Ini adalah cara belajar baru yang merupakan pengembangan dari cara belajar konvensional. Belajar progresif dimulai dengan membentuk sikap belajar yang baik yang dapat diasah dengan melibatkan anak dan lingkungan dalam mendidik anak-anak.
Orang tua perlu mendampingi anak mengasah kemampuan belajar progresif agar mereka bisa meraih capaian-capaian penting dalam tumbuh kembang sesuai tahapan usia. ''Kemampuan belajar progresif dibutuhkan untuk membentuk empat karakter anak hebat agar anak bisa meraih kesuksesan di masa depan,''ujar Rosdiana.