REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ismalinar
Pukul sebelas malam. Kami hendak tidur. Tiba-tiba, terdengar suara orang mengucapkan salam dan bunyi gembok beradu dengan besi pagar. Aku mengintip ke luar dari balik gorden. Lampu teras menerangi wajah seseorang. Rupanya Si Kribo.
“Kok, malam begini si Kribo datang?” tanyaku pada suami. Suamiku hanya mengangkat bahu. Ia pun membukakan pintu rumah dan pagar. Si Kribo masuk dengan wajah kusut. Jaket hadiah dari sebuah koran harian ibu kota membungkus tubuhnya. Setelah dipersilakan, ia duduk dengan gelisah di hadapan kami di ruang tamu.
“Istri dan anak saya ketahan di rumah sakit, Pak,” curhatnya tanpa kami tanya.
“Kenapa?” tanya suami.
“Saya tidak kuat nebusnya,” jawabnya dengan suara bercampur tangis.
“Bukannya kamu pakai Surat Keterangan Tidak Mampu dari RT dan RW? Kenapa masih bayar?” tanyaku heran.
“Itulah, Bu. Tadinya, sebelum operasi caesar istriku dirawat di kelas tiga. Setelah operasi, dipindah ke kelas satu. Kata orang rumah sakit, kamar kelas tiga dan kelas dua penuh. Istri aku nerima aja. Nah, tadi waktu mau pulang, orang rumah sakit nyuruh aku bayar jutaan. Alasannya, istri dan anakku dirawat di kelas satu. Katanya, di kelas satu, Surat Keterangan Tidak Mampu enggak berlaku. Aku bilang, orang rumah sakit yang narok istriku di kelas satu. Masak jawabnya, kenapa mau? Harusnya nolak,” si Kribo menjelaskan dengan runtut tapi nafasnya terdengar sesak.
Dia merasa dipermainkan dan tidak terima. Rasa marah dan jengkel bercampur aduk dalam dadanya.
“Aku disuruh ke Dinas Sosial minta keringanan lagi, sekalian ngasih foto kopi bon pembayaran rumah sakit. Aku kayak dijebak gitu, Bu. Soalnya, waktu lihat bon itu, orang Dinas Sosial gak mau ngeluarin surat gratis karena istri dan anakku dirawat di kelas satu. Kalau gratis, harus dirawat di kelas tiga. Gimana nih, Pak?” tanya Si Kribo kebingungan.
“Gak kamu ceritakan, mengapa dirawat di kelas satu?” tanyaku.
“Sudah Bu. Patokan mereka, surat kalau istri dan anakku dirawat di kelas satu, alasannya mereka gak peduli,” jawab si Kribo dengan wajah api.
Suamiku agen dan subagen beberapa media cetak nasional dan daerah. Aku sendiri ikut membantu usaha suami. Jam tiga dini hari kami sudah berada di lapak koran. Sampai Subuh, silih berganti para kurir penerbit mengantarkan produk media cetak mereka ke lapak. Kami merapikannya.
Kemudian sekitar tiga puluhan subagen dan pengecer berbelanja koran dan tabloid ke kami. Menjelang pukul tujuh pagi dagangan habis, kecuali kalau ada sub dan pengecer yang tidak datang.
Salah satu pengecer kami Si Kribo. Aku tersenyum-senyum mengingat perkenalanku dengannya.
“Bu Agen, saya mau belanja koran,” kata si Kribo.
“Nama kamu siapa?” tanyaku.
“Ga punya nama, Bu.”
“Lha, gimana manggil kamu kalau gak punya nama,” jawabku tersenyum geli. “Pernah dagang koran?” tanyaku lagi.
“Belum,” jawabnya. Usianya kuperkirakan 20 tahun.
“Tadinya kerja di mana?”
“Nganggur,” jawabnya enteng. “Emang mau dagang koran pakai wawancara juga?” tanyanya dengan wajah kesal.
“Kenapa tiba-tiba mau dagang koran?” tanyaku mengabaikan pertanyaannya.
“Bu Agen, aku mau kawin. Bapak pacarku mau nikahin aku sama anaknya kalau punya kerjaan,” jawabnya polos.
“Jadi, kamu serius nih?” kejarku.
“Ya, iyalah,” jawabnya tegas.
“Sekarang namamu siapa?” tanyaku lagi.
“Ibu panggil apa sajalah,” jawabnya kemudian.
“Nama yang cocok untuk kamu, sih, Kribo,” spontan saja aku menjawab. Soalnya, rambutnya kribo seperti kribonya Ahmad Albar.
“Orang lain juga manggil aku begitu,” jawabnya santai.
“Bilang, dong dari tadi,” jawabku kesal bercampur geli.
Ketika Si Kribo pergi dengan tumpukan koran di tangan, ia berpapasan dengan Ujang pengecer koran kami. Kalau semua pengecer berdagang koran mulainya di pagi buta, Ujang kesiangan terus. Namun, anehnya, korannya selalu habis tanpa sisa.
“Pak, itu Si Kribo belanja koran di sini? Hati-hati saja. Dia kan preman kampung sebelah,” Ujang memperingati.
“Kamu tadinya juga preman, Jang,” jawabku sambil tersenyum.
“Yang penting sekarang sudah insyaf kan, Bu Agen,” jawab Ujang sambil tersenyum juga.
“Yah, semoga Si Kribo mengikuti jejak kamu,” jawabku diplomatis.