REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Margarito Kamis, SH.M.Hum, Pakar Hukum Tata Negara
Resonansi RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP), terhubung kuat dengan pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Resonansi ini dibuat cantik. Ketuhanan yang dalam pidato Bung Karno tanggal 1 Juni ditempatkan pada urutan kelima, pada RUU in ditempatkan pada urutan pertama.
Pembalikan itu terlihat pada pasal 7 RUU ini. Pasal ini berisi tiga ayat. Ayat (1) berisi ketentuan: Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
Ayat (2) Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Ayat (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.
Trisila dan ekasila” harus diakui, hanya diucapkan oleh Bung Karno. Tidak dari tokoh lainnya, termasuk Profesor Soepomo dan Ki Bagoes Hadkoesoemo. Apa gagasan, sebut saja Profesor Soepomo dan Ki Bagoes Hadikoemo? Apa gagasan mereka tidak terkoneksi dalam substansinya, dengan pidato Bung Karno sehari kemudian? Artikel ini akan menyajikannya.
Gagasan Soepomo
Pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 disampaikan setelah Baswedan, Muzakir, Oto Iskadardinata berpidato. Tetapi menurut kajian Pak RM. AB. Kusuma naskah pidato mereka belum ditemukan. Pak Baswedan, Muzakir, Oto Iskandardinata, dalam kenyataannya menyampaikan gagasannya pada tangal 1 Juni 1945 itu tentu menimbulkan soal tersendiri.
Mau disebut apa gagasan tokoh ini? Faktanya mereka menyampaikan gagasan tentang Indonesia yang akan dibangun. Apapun itu fakta itu bermakna tanggal 1 Juni 1945 bukan tanggal untuk seorang Bung Karno.. Disisi lainnya gagasan Indonesia merdeka, telah disampaikan secara panjang lebar juga sehari sebelumnya, yakni pada tanggal 31 Mei 1945.
Tiga belas tokoh yang pada tanggal 31 Mei 1945 itu menyampaikan gagasan, pidatonya. Mereka adalah Abdulkadir, Soepomo, Sanoesi, Handro Martono, Dahler, Liem Koen Hian, Monandar, Kosoema Atmaja, M. Yamin, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Oei Tjong Haw, Parada Harahap, dan Dr. Boentarman.
Seraya memberi rasa hormat yang sama kepada ke tiga belas tokoh itu, artikel ini hanya berkonsentrasi pada dua tokoh di antara 13 tokoh yang menyampaikan gagasannya pada tanggal 31 Mei 1945 itu. Keduanya adalah Soepomo dan Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Ini disebabkan selain gagasan kedua keduanya cukup panjang, materi gagasannya memiliki kemiripan, dalam substabnsi dengan gagasan Bung Karno yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945 (Lihat Buku Pak RM. AB. Kusuma dalam Buku Lahirnya UUD, Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan (Jakarta, Badan Penerbit FH UNI, 2004).
Buku ini saya jadikan rujukan utama artikel ini. Sebabnya sederhana, buku RM. AB Kusuma memiliki keunggulan dalam banyak aspek dibandingkan bukunya M. Yamin yang berjudul Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Pada buku ini tidak ditemukan pidato para tokoh-tokoh yang disebut di atas.
Profesor Soepomo mengawali pidato dengan kata “Soal yang kita bicara ialah, bagaimanakah akan dasar-dasarnya Negara Indonesia merdeka. Setelah kata-kata ini, Profesor menunjuk secara secara ringkas gagasan para tokoh sebelumnya. Setelah penegasan itu, Soepomo mengatakan “tadi oleh beberapa pembicara telah dikemukakan beberapa faktor dari beberapa negara, syarat-syarat mutlak (faktor konstitutif) dari suatu negara.
Syarat-syarat itu, dalam uraian profesor terlihat mewakili tipikal teori ilmu negara tentang terbentuknya negara. Itu disebabkan profesor bicara tentang daerah (syarat wilayah), warga negara, yang profesor syarat mutlak dan yang ketiga pemerintah. Ini syarat standar dalam ilmu negara.
Setelah masalah ini, profesor menguraikan aliran-aliran pikiran tentang negara. Aliran pikiran yang menyatakan negara terdiri atas teori perseorangan. Ini duikualifikasi Soepomo sebagai teori individualis, sesuai ajaran Thomas Hobes dan John Locke, J. J Rouseau, Haerold J. Laski Herbert Spencer dan lainnya. Aliran kedua, begitu disebut professor Soepomo teori golongan dari negara (class theory) yang diajarkan oleh Karl Marx, Enggles dan Lenin.
Dalam menerangkan aliran pikiran yang kedua ini, Profesor Soepomo menegaskan dalam garis besarnya hal-hal berikut. Negara dijadikan alat para kapitalis, perkakasnya kaum bourjouis yang menindas kaum buruh. Tentang aliran pikiran ketiga, profsor Soepomo menunjukan teori yang dalam kata-katanya “dapat dinamakan teori integralistik.”
Menurutnya teori ini diajarkan oleh Spinosa, Adam Muller, Hegel dan lainnya.
Lebih jauh teori ini dijelaskan; Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral. Segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting, profesor melanjutkan, negara yang berdasar aliran pikiran integral ini ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak satu golongan yang paling kuat atau paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat.
Akan tetapi, kata Profesor Soepomo, negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Sekaran, profesor melanjutkan, tuan-tuan akan membangun negara atas dasar pikiran nyang mana?
Terhadap masalah ini, professor lalu mengatakan:
Kami hendak mengingatkan lagi nasehat P.T Soomubutyoo bahwa pembangunan negara bersifat barang yang bernyawa. Oleh karena itu cotrak bentuknya harus disesuaikan dengan keadaan umum pada masa sekarang dan harus mempunyai keistimewaan yang sesuai dengan keadaan umum tadi.
Profesor Soepomo beralih ke praktik bernegara di Eropa, termasuk Uni Soviet. Dalam penilaiannya praktik ini bertentangan dengan sifat masyarakat Indonesia yang asli. Usai uraian ini, Profesor beralih ke praktik di Asia. Pada titik ini profesor menyatakan sebagaimana tuan-tuan ketahui struktur sosial Indonesia yang asli, tidak lain ialah ciptaan kebudayaan Indonesia, ialah buah aliran pikiran atau semangat kebathinan bangsa Indonesia.
Semangat kebathinan, struktur kerohanian dari bangsa Indonesia, dalam pandangan Profesor Soepomo bersifat dan bercita-cita persatuan hidup , persatuan kawulo dan gusti. Ini adalah persatuan antara dunia luar dan dunia bathin, antara makrokosmos dan mikrokosmos, antara rakyat dan pemimpinnya.
Lebih jauh diuraikan, menurut sifat tata negara asli yang zaman sekarang pun masih dapat dilihat dalam suasana hidup hidup di desa, baik di Jawa maupun di Sumatera, dan kepulauan-kepulauan Indonesia lin, maka pejabat negara ialah pemimpin yang bersatu jiwa dengan rakyat. Para pejabat negara senantiasa berwajib memegang teguh persatuan dalam masyarakatnya.
Profesor beralih dengan menyodorkan contoh tentang bagaimana kekuasaan dilaksanakan dalam tradisi Minangkabau. Penjelasan beliau setelah itu dinyatakan dalam kata-kata berikut “dalam suasana persatuan antara rakyat dan pemimpinnya, antara golongan rakyat satu sama lain, segala golongan diliputi oleh semangat gotong royong.
Kenyataan-kenyataan itu menimbulkan konsekuensi. Tiga konsekuensi dicatat oleh Soepomo. Ketiga konsekuensi itu adalah hubungan antara negara dan agama, cara membentuk pemerintahan, dan hubungan negara dan kehidupan ekononi. Konsekuensi pertama mengantarkan Soepomo menguraikan tentang negara Islam. Cukup panjang soal ini diuraijkan oleh Soepomo.
Esensi uraian Soepomo soal ini, terlihat pada pernyataan selannutnya. Perkataan negara Islam, begitu diskripsinya, lain artinya daripada perkataan negara berdasarkan cita-cita luhur daripada agama Islam.” Dalam negara yang tersusun sebagai negara Islam, menurut Soepomo negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama, tulis Soepomo, ialah satu, bersatu padu.
Setelah panjang lebar memberi contoh tentang negara Islam, jelas memperlihatkan rute Soepomo. Soepomo lebih menyetujui satu negara nasional, yang menurutnya mewadahi semua golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia. Untuk menguatkan pilihan itu, Soepomo menguraikan hal-hal yang, pada level tertentu, terasa baik untuk dibandingkan dengan cara pandang Bung Karno.
Kata Soepomo, negara nasional yang bersatu tidak berarti negara itu akan bersifat “a religious.” Itu bukan. Negara nasional yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur, akan memegang cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka dengan demikian, kata Soepomo, hendaknya negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan oleh agama Islam.
Dititik itu Soepomo jelas berbeda dengan Ki Bagoes Hadikosoemo. Ini karena Ki Bagoes jelas memilih rute Islam. Pada bagian akhir gagasannya, Soepomo bicara mengenai a pemerintahan. Soepomo terlihat tidak kongklusif dalam soal ini. Itu disebabkan Soepomo bicara negara kesatuan atau serikat, dalam nada tanya, apakah kesatuan atau serikat.
Hal hebat yang dikemukakan Soepomo diakhir pidatonya adalah penegasannya tentang diperlukannya badan musyawarah. Badan ini, terlihat dimaksudkan oleh Soepomo untuk dijadikan wadah musyawarah antara pemerintah dengan rakyat, sehingga pemimpin terus menyatu dengan rakyat. Uraian ini diakhiri dengan penegasan berikut:
Paduka Tuan ketua, tentang daar-dasar negara yang hendak dipakai untuk mendirikan Negara Indonesia Merdeka. Atas dasar pengertian negara kesatuan bangsa Indonesia yang tersusun atas sistem hukum yang bersifat integraistik tadi, dimana akan terwujud dan bertindak sebagai penyelenggara keinsyafan keadilan rakyat seluruhnya, maka kita akan dapat melaksanakan Negara Indonesia yang bersatu dan adil, seperti termuat dalam Panca Dharma, pasal 2 yang berbunyi: “kita mendirikan Negara Indonesia yang makmur, berdaulat, adil.
Dalam nafas itu, profesor ini melanjutkan, maka negara hanya bisa dilihat, jikalau negara itu menyelenggarakan rasa keadilan dan menuntun rakyat pada cita-cita yang luhur, yang menurut aliran jaman. Begitulah esensi pidato Soepomo tentang dasar-dasar negara untuk Indonesia merdeka.