REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Ilham Akbar, Manajemen Talenta DPP KNPI
Sejak ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2016, setiap 1 Juni seluruh Warga Negara Indonesia memperingati hari lahir Pancasila. Namun, pernahkah kita merenung sejenak untuk memaknai Pancasila? Ataukah peringatan ini hanya sekedar seremoni belaka?
Para millennial sedikitnya pernah mendengar mengenai nostalgia para senior millenial ketika mereka menceritakan masa mudanya yang pernah mendapatkan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai bentuk penyamaan pemahaman mengenai demokrasi Pancasila demi membentuk sekaligus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Pada zaman order baru, penataran P4 dijadikan sebagai alat indoktrinasi Pancasila. Namun, eksistensinya saat ini dianggap sudah tidak relevan dengan praktiknya dan tidak bermanfaat.
Di era globaliasasi, tantangan terjadi ketika masih ditemukan generasi muda penerus bangsa yang berperilaku dan bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Seolah-olah nilai-nilai itu hanya sekedar formalitas dan kemudian mudah untuk dilupakan.
Pancasila hanya dijadikan sebagai objek menghafal dan sulit sekali untuk diamalkan karena ketidakmampuan bangsa dalam memaknai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Sungguh ironis melihat fenomena yang terjadi ketika para pendiri bangsa atau founding father telah bersusah payah untuk sepakat melahirkan ide brilian Pancasila ditengah kekuatan kolonialisme yang mencekam.
Padahal, Pancasila sebagai ruang nilai menawarkan jawaban atas segala kondisi yang terjadi di masa kini dan di masa yang akan datang dengan menjunjung tinggi nilai persatuan, kesatuan, persamaan, dan perbedaan.
Presiden pertama Republik Indonesia Ir. Sukarno dengan tegas menyampaikan Pancasila apabila diperas intisarinya dapat menjadi "trisila" yang terdiri atas socio nationalism, socio democratie, dan ketuhanan. Namun, “trisila” kembali dapat diperas intisarinya menjadi “ekasila” yang bermakna gotong royong.
Tepat 75 tahun lalu produk nasionalisme Pancasila dilahirkan oleh para pendiri bangsa. Sebagai sebuah renungan, apakah kita benar-benar penganut Pancasilais? Ataukah kita penganut paham gotong royong “bersyarat” yang mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan?
Pancasila sebagai filosofi atau way of life bangsa sudah sepatutnya benar-benar tertanam disetiap warga negara dalam setiap aktivitasnya, termasuk aktivitas di lingkungan organisasi.
Bayangkan, apabila seorang leader dalam berorganisasi mengedepankan suku, ras, atau agama dan bukan karena kesamaan visi yang sama. Hal ini tentunya sangat mencederai nilai-nilai Pancasila. Namun demikian, kesamaan visi saja dinilai tidak cukup. Para leader dan seluruh anggota juga harus membawa sikap dan perilaku yang baik.
Untuk memastikan itu, diperlukan culture fit yang dilakukan tidak hanya terbatas kepada anggota eksisting, melainkan juga kepada calon anggota yang ingin bergabung dengan organisasi, sehingga mereka tidak hanya sekedar berorganisasi dengan baik melainkan dapat merawat bangsa ini minimal dengan cara yang mereka bisa lakukan.
Peran leader sebagai meaning maker sekaligus stimulator bagi anggota menjadi sangat penting. Mereka harus bisa memberikan contoh dan meyakinkan para anggota tentang betapa pentingnya menerapkan nilai-nilai Pancasila ke dalam seluruh aktivitas demi kesatuan dan persatuan bangsa.
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) hadir sebagai wadah inkubasi bagi para talenta muda negeri terus berupaya menanamkan nilai-nilai Pancasila ke dalam setiap aktivitas organisasi. Kami mengajak kepada seluruh talenta muda Indonesia untuk selalu peduli akan keberadaan Pancasila ditengah tantangan arus globalisasi dan semakin modernnya kehidupan bangsa. Gotong royong atau kolaborasi tanpa syarat menjadi kata kunci saat ini dalam menjaga keutuhan Tanah Air karena “Kita Indonesia, Kita Pancasila”.