REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Mahmud (Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Kalau tidak perlu, Pancasila tidak harus dibicarakan ke masa lalu karena sudah menjadi komitmen bersama bangsa ini. Pancasila harus dibicarakan ke depan karena masalah bangsa yang semakin kompleks saat ini dan di masa yang akan datang. Rasanya terlalu berlebihan membenturkan Pancasila dengan agama karena tidak ada unsur yang berbenturan antara keduanya.
Judul tulisan ini memuat kata harmonisasi. Kata ini tidak dimaknai bahwa secara intrinsik terjadi konflik substansi antara agama dan Pancasila, sehingga perlu ada usaha merukunkan kembali antara keduanya. Bukan itu yang dimaksud. Tulisan ini mengajak kepada semua anak bangsa untuk memahami bahwa agama dan Pancasila telah diharmonikan oleh para penggagas dan perumusnya waktu itu.
Agama dan Pancasila memiliki kesamaan fungsi, yaitu sebagai nilai dan alat untuk mencapai kesejahteraan lahir batin masyarakat. Tidak berlebihan kalau diibaratkan roda kanan dan kiri sebuah kendaraan. Fungsi roda tersebut sama sebagai penggerak badan kendaraan untuk menempuh satu tujuan tertentu, namun perannya yang berbeda. Agama berperan sebagai perekat sosial dan pembina ruhani, sedangkan Pancasila berperan sebagai pedoman (ideologi) bernegara. Agama adalah rumah besar yang menyajikan tata kelola mental, spiritual dan seluruh sendi kehidupan manusia, sedangkan Pancasila adalah rumah besar ragam agama anak bangsa, menyajikan tata kelola negara supaya terarah pada sasaran.
Antara agama dan Pancasila telah terjadi saling dukung dan saling menguatkan. Pancasila mengakui agama dan juga agama mengapresiasi nilai-nilai Pancasila. Pancasila memberi ruang yang luas bagi agama. Nilai ketuhanan yang terkandung dalam Pancasila adalah inti ajaran agama. Sementara itu agama menilai positif pada isi Pancasila karena tidak bertentangan dengan doktrin agama.
Paling tidak ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam beragama dan berpancasila. Pertama, Pancasila jangan ditarik menjadi agama, tetaplah pada perannya. Juga agama jangan ditarik menjadi ideologi terbatas, sebab akan menimbulkan bias konsep. Aslinya, sebuah ideologi dirumuskan dalam suatu negara untuk tujuan tertentu, sedangkan agama dibentuk untuk tujuan tanpa batas. Ideologi yang dirumuskan oleh manusia tidak bisa diminta pertanggungjawaban untuk mengurus komitmen ruhani, karena di luar nalarnya. Juga sebaliknya, ketika agama diminta pertanggungjawabannya untuk tujuan atau kepentingan terbatas, ia akan mengalami bias konsep.
Kepentingan jangka pendek atau yang bersifat sementara akan dipersepsi sebagai kepentingan abadi dan sejati, ketika agama ditarik secara paksa menjadi ideologi tujuan tertentu. Oleh sebab itu, agama dapat ditarik untuk perbandingan cara pandang bukan untuk sebuah taktis-ideologis. Sebagai perbandingan cara pandang, agama bisa dibawa masuk ke ranah ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya yang menghasilkan warna dan kekhasan.
Kedua, Pancasila sebagai ideologi, pada tingkat makro dapat disandingkan dengan ideologi lainnya, seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme dan ideologi lainnya. Oleh sebab itu, tidak perlu ada tawaran ideologi alternatif lagi untuk menggantikan Pancasila, lebih-lebih tawaran ideologi yang rentan. Kita sudah sepakat bahwa Pancasila sudah final sebagai ideologi negara. Konsep haluan bernegara kita sudah benar dengan adanya Pancasila.
Ketiga, Pancasila sebagai ideologi negara tidak perlu diutak-atik lagi. Sudah sangat ideal dan sarat makna untuk berbangsa dan bernegara. Boleh saja kita diskusi ideologi alternatif, karena kita berada di negara demokrasi dan menjamin kebebasan berpendapat. Namun, Pancasila sudah sangat mewadahi gagasan-gagasan ideologi alternatif tersebut. Apa yang tidak ada dalam Pancasila? Unsur agama terbawa, budaya sudah terwadahi, persatuan, keadilan, kemanusiaan dan kerakyatan serta unsur-unsur modernitas terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu, Pancasila merupakan platform ideologi yang ideal.
Janganlah membenturkan Pancasila dengan penyimpangan perilaku. Lalu ditarik secara paksa bahwa seolah-olah Pancasila tidak bermakna dalam proses berbangsa dan bernegara. Sampai kiamat pun penyimpangan perilaku akan terus terjadi, karena penghuni dunia ini, khususnya negeri kita, adalah manusia asli, bukan malaikat atau manusia setengah dewa, yang memiliki potensi alami untuk menjadi baik dan tidak baik. Tapi, ini bukan artinya toleransi dan rasionalisasi untuk melegalkan penyimpangan perilaku. Tetap saja Setiap penyimpangan perilaku harus kita usahakan untuk dieliminasi dan dibatasi ruang geraknya. Namun, yang dimaksud adalah bahwa tidak bisa mengambinghitamkan Pancasila hanya gara-gara masih terdapat penyimpangan perilaku dalam berbangsa dan bernegara, terutama oleh para pemegang kekuasaan di negeri ini pada berbagai level dan berbagai sektor.
Agama dan Pancasila sudah harmoni makna, apabila alat ukur yang digunakan bukan kepentingan tertentu dan terbatas. Dengan kepentingan tertentu hal yang sudah jelas duduk perkaranya menjadi abu-abu. Pancasila dan agama yang jelas-jelas sudah sangat harmoni menjadi tidak jelas dan konflik. Seolah-olah Pancasila di satu lembah dan agama di lembah lain yang tidak pernah terjadi komunikasi substansi. Jadi, kepentingan tertentu yang menjadikan bias persepsi kita. Substansi bernegara yang ideal sudah terkandung di dalam Pancasila, dan secara objektif merupakan turunan ajaran agama.
Sebagai citra idealitas, Pancasila tidak memiliki kekurangan. Haluan bernegara dan berbangsa sudah sangat jelas terumuskan di dalamnya. Harus diakui bersama, bahwa yang belum jelas sampai saat ini adalah pengamalan isi Pancasila dalam setiap langah strategis, baik langkah individu masyarakat maupun langkah organisasi negara. Untuk hal ini kita perlu mengakuinya masih mengalami defisit. Wajar tentunya, Pancasila sebagai ideologi selalu menyajikan gagasan ideal, yang lumrahnya selalu terjadi benturan dengan kondisi real. Tapi, jangan gara-gara realitas berbeda jauh dengan idealitas, lalu kita berhenti berbicara target-target yang ideal. Jangan putus asa dan merasa lelah untuk membicarakan hal-hal ideal dalam berbangsa dan bernegara.
Saya teringat dengan kisah para sahabat Nabi Muhammad SAW yang mengajukan izin untuk berhenti untuk berdakwah. Alasan para sahabat ketika itu adalah karena mereka belum bisa melaksanakan ajaran agama Islam secara total. Secara psikologis, mereka merasa terbebani ketika mengajak masyarakat untuk melakukan kebaikan sementara diri mereka bukan pelaku kebaikan yang sempurna. Begitu halnya ketika mereka membicarakan larangan-larangan agama dalam kehidupan, sebab terkadang mereka juga, sebagai manusia biasa, melanggar larangan tersebut. Sementara itu, Alquran sebagai doktrin idealitas mengecam ketidaksingkronan antara ucapan dengan perbuatan. Akibatnya, para sahabat merasa berat hati, sehingga mengajukan permohonan untuk berhenti berdakwah.
Mendengar pengajuan para sahabatnya untuk berhenti berdakwah dengan latar belakang yang mereka sebutkan, beliau tegas melarang ajuan tersebut. Beliau mengingatkan para sahabatnya untuk tidak berhenti mengajak masyarakat pada kebaikan. Sebab, apabila para sahabat berhenti berdakwah, kebaikan akan sia-sia tanpa makna. Nantinya, kata Nabi Muhammad SAW, “Kebaikan itu tidak akan ada yang mengamalkan, karena tidak ada yang menyampaikan. Sekalipun oleh kalian tidak diamalkan, bisa saja kebaikan itu diamalkan oleh orang yang mendengarnya. Lain halnya apabila kebaikan tidak kalian sampaikan. Oleh kalian tidak diamalkan, juga tidak oleh orang lain karena mereka tidak pernah mendengarnya. Mungkin saja suatu kebaikan tidak dilaksanakan oleh kalian tapi oleh mereka yang mendengarkannya dilaksanakan.”
Jadi, jangan pernah berhenti membicarakan idealitas Pancasila sekalipun masih terdapat bolong-bolong dalam realitasnya. Kita perlu bersyukur telah memiliki rumusan bernegara dan berbangsa yang sangat baik. Sebagai legacy para leluhur negeri ini yang pikirannya sangat berorientasi pada masa depan, melampaui kapasitas jamannya pada waktu itu. Wallaahu’alam