REPUBLIKA.CO.ID, oleh Azyumardi Azra
Wabah corona bisa dipastikan adalah bencana global; Indonesia harus berhadapan dengan wabah beserta segala dampaknya beberapa tahun ke depan. Namun, di tengah wabah yang belum melandai di Tanah Air, eskalasi politik meningkat. Fenomena ini terkait dengan rencana DPR membahas [dan meloloskan nanti] RUU haluan ideologi Pancasila (HIP).
Mengingat belum adanya tanda surutnya wabah corona, ketika banyak masyarakat berjuang agar tidak terinfeksi penyakit mematikan ini, jelas tidak sensitif sama sekali jika DPR tetap membawa RUU HIP ke dalam agenda persidangan. Fraksi-fraksi yang mendukung HIP—sekaligus parpol masing-masing—sepatutnya tidak membutakan mata dan menulikan telinga dengan eskalasi politik gara-gara RUU HIP.
Peningkatan eskalasi politik bisa dilihat dengan maraknya penolakan RUU HIP. Berbagai aksi muncul dalam deklarasi penolakan yang bernada keras dari berbagai ormas Islam, perkumpulan purnawirawan TNI/Polri, serta ormas pemuda dan kemahasiswaan dari banyak penjuru negara.
Ada pula aksi demo massa menolak RUU HIP itu yang disertai pembakaran bendera PKI. RUU HIP dianggap mengandung substansi dan konsekuensi yang memberikan peluang bangkitnya komunisme dan PKI.
Mengapa penolakan RUU HIP begitu meluas? Selain soal komunisme tadi, ini juga karena RUU HIP dipandang mendegradasikan Pancasila dengan memeras Pancasila menjadi Trisila kemudian Ekasila (gotong royong); mengorbankan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan RUU HIP bercakupan antara lain seperti itu, banyak publik melihat RUU HIP mengkhianati gentlement agreement para pendiri bangsa. Persetujuan para pemimpin bangsa bisa disebut "kesepakatan sakral" dengan dua prinsip penting seperti terlihat dalam Pembukaan UUD 1945.
Pertama, dasar negara terdiri atas lima prinsip yang kemudian disebut Pancasila. Lima prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai lima sila dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai sila pertama.
Kedua, penghapusan anak kalimat dengan tujuh kata dalam sila pertama, lanjutan Ketuhanan…’dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Ketujuh kata terkenal sebagai ‘Piagam Jakarta’.
Dengan penghapusan Piagam Jakarta, pemimpin dan umat Islam menekankan sikap inklusif terhadap golongan-golongan non-Muslim dalam negara RI yang baru diproklamasikan. Penghapusan ini sering disebut Menteri Agama Haji Alamsjah Ratu Perwiranegara (1978-1983) sebagai ‘hadiah terbesar umat Islam bagi persatuan dan kemerdekaan Indonesia’.
Pada masa pasca-Alamsjah Ratu Perwiranegara, "ketegangan" antara Islam dan Pancasila untuk sementara berakhir. Ketegangan muncul kembali ketika Presiden Soeharto memberlakukan UU Keormasan No 8/1985 yang menetapkan Pancasila satu-satunya asas organisasi dan perkumpulan.
UU Keormasan asas tunggal Pancasila berakhir dengan tamatnya pemerintahan Presiden Soeharto untuk digantikan Presiden BJ Habibie. Presiden Habibie menjadi arsitek liberalisasi dan demokratisasi multipartai.
Partai-partai yang berkontestasi dalam Pemilu 1999 bebas memakai asas: Pancasila atau Islam atau agama lain—kecuali komunisme. Ormas juga bebas memakai asas yang sesuai jati diri dan karakter masing-masing.
Namun, hubungan Islam dan Pancasila yang sudah selesai kembali dipertentangkan Kepala BPIP Yudian Wahyudi awal 2020. Dia secara luas dikutip media massa menyatakan, ‘agama sebagai musuh Pancasila’. Setelah mendapat kritik dari berbagai kubu, Kepala BPIP kemudian memilih diam.
Kini kontroversi terkait isu Islam dan Pancasila bangkit dengan skala lebih panas dan lebih luas karena RUU HIP. Media massa melaporkan RUU HIP diusulkan Fraksi PDIP ke Baleg DPR. Wakil Ketua Baleg Rieke Diah Pitaloka dari FPDIP menjadi ketua panja RUU HIP.
Walau belum jelas proses legislasi selanjutnya di DPR, tensi politik terlihat memanas. Agaknya karena itulah Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan setuju menghapus pasal 7 RUU HIP yang memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila (gotong royong). Apakah pernyataan Hasto Kristiyanto sepenuhnya mewakili PDIP? Yang paling pas mengklarifikasi ini adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Klarifikasi Ketua Umum PDIP sangat penting. Masalahnya, banyak kalangan publik menginginkan RUU HIP ditolak sepenuhnya, bukan sekadar diperbaiki pasal tertentu. Hal ini tak lain karena substansinya mendegradasi Pancasila; juga tidak ada urgensinya di tengah amuk wabah corona.
Presiden Jokowi perlu mendengar suara publik. Presiden akhirnya lewat Menko Polhukam Mahfud MD dan Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan pesan presiden untuk menunda pembahasan RUU HIP. Menurut Menko Polhukam, Presiden Jokowi tidak akan mengirim surat presiden (surpres) kepada DPR untuk menyetujui pembahasan RUU HIP.
Banyak kalangan lega dengan penundaan ini. Namun, mereka berharap pemerintah tidak sekadar menunda pembahasan, tetapi menghentikan sama sekali.
DPR dengan berbagai fraksi sudah waktunya kembali pada nuraninya dengan menghentikan pembahasan RUU HIP. Parpol sebagai penentu kebijakan fraksi perlu lebih berpihak pada ketenteraman dan kesatuan negara-bangsa daripada sekadar memperjuangkan kepentingan partisan dan oportunisme politik melalui legislasi di DPR.