REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi menemukan bahwa bayi berusia kurang dari 90 hari yang positif Covid-19 cenderung sehat, dengan sedikit atau tanpa gangguan pernapasan. Demam sering ditemukan sebagai gejala utama atau satu-satunya.
Studi ini dilakukan oleh sekelompok ilmuwan di Northwestern University Amerika Serikat (AS) yang dipublikasikan dalam 'Journal of Pediatrics'.
"Temuan kami menunjukkan bahwa bayi-bayi ini sebagian besar memiliki penyakit ringan dan mungkin tidak berisiko lebih tinggi terkena penyakit parah seperti yang dilaporkan di China," kata pemimpin studi Leena B. Mithal.
"Sebagian besar bayi dalam penelitian mengalami demam, COVID-19 mungkin menjadi penyebabnya. Evaluasi untuk infeksi bakteri pada bayi muda dengan demam tetap penting," tambah Mithal seperti dikutip dari Times Now News, Senin (22/6).
Penelitian ini melibatkan 18 bayi yang tidak memiliki riwayat medis yang signifikan. Dari 50 persen bayi yang dirawat inap di rumah sakit, tidak ada yang membutuhkan oksigen, bantuan pernapasan, atau perawatan intensif.
Dari bayi yang dirawat di rumah sakit, enam dari sembilan memiliki gejala gastrointestinal (GI) sepertikurang makan, muntah dan diare. Gejala batuk dan kongesti saluran pernapasan bagian atas mendahului timbulnya gejala GI.
Bayi muda juga memiliki viral load yang sangat tinggi dalam spesimen hidung mereka meskipun memiliki penyakit klinis ringan.
"Tidak jelas apakah bayi muda dengan demam dan positif untuk SARS-CoV-2 memerlukan perawatan di rumah sakit," kata Dr Mithal.
Keputusan untuk dirawat di rumah sakit didasarkan pada usia, kebutuhan untuk perawatan pencegahan infeksi bakteri, penilaian klinis, toleransi makan, dan kecukupan tindak lanjut. Indikasi untuk masuk RS terutama pengamatan klinis, pemantauan toleransi makan, dan mengesampingkan infeksi bakteri dengan antibiotik intravena empiris pada bayi di bawah 60 hari.
Tim peneliti juga mengamati representasi etnis Latin yang berlebihan di antara sampel bayi positif COVID-19 yaitu sebesar 78 persen. Pada puncak pandemi COVID-19 di Chicago, lebih dari 40 persen kasus terjadi pada orang-orang dari etnis Latin.
"Mungkin ada faktor tambahan yang berkontribusi terhadap mayoritas kasus Latin yang tidak proporsional yang kami amati dalam kelompok usia ini," kata Dr Mithal.