REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: NUR HIDAYAT, Anggota Gugus Tugas Pesantren Tebuireng
Setelah ditunggu cukup lama, Kementerian Agama akhirnya menerbitkan panduan penyelenggaraan pembelajaran di pesantren dan pendidikan keagamaan pada masa pandemi. Meski masih mendapatkan beberapa catatan, panduan ini patut diapresiasi.
Ada empat ketentuan utama dalam panduan tersebut. Antara lain, perlunya pembentukan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 (GTPPC) dan ketersediaan fasilitas yang memenuhi protokol kesehatan.
Juga, adanya surat keterangan aman Covid-19 dari GTPPC atau pemerintah daerah (pemda). Terakhir, seluruh pimpinan, pengelola, pendidik, dan peserta didik harus dinyatakan sehat oleh otoritas kesehatan setempat.
Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah (PP RMI) PBNU KH Abdul Ghaffar Rozin berharap pemerintah turut mengawal pelaksanaan panduan itu. Bukan sekadar menerbitkan panduan. Selain itu, membantu penyediaan fasilitas kesehatan di pesantren untuk mencegah penyebaran Covid-19. Ia juga menyoroti potensi subjektivitas gugus tugas dan perbedaan kebijakan antarpemda dalam penerapan panduan tersebut (Republika, 20/6).
Simalakama
Sejak wacana penerapan normal baru dilontarkan pemerintah, para pengasuh pesantren berusaha segera merespons. Bedanya, jika pemerintah cukup lama "menghitung kancing" antara prioritas mitigasi pada aspek kesehatan atau ekonomi, pesantren mengalkulasi antara kerugian moral akibat kevakuman aktivitas dan keterbatasan infrastruktur mayoritas pesantren dalam pemenuhan protokol kesehatan. Dalam bahasa ushul fikih, kalangan pesantren dihadapkan pada persimpangan antara memprioritaskan perlindungan terhadap keselamatan agama (hifzud din) atau keselamatan jiwa (hifzun nafs).
Pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin) dalam diskusi daring akhir Mei lalu menuturkan, vakumnya aktivitas di pesantren sekitar dua bulan terakhir adalah kerugian moral bagi bangsa Indonesia. Karena itu, dia berpendapat, kegiatan belajar dan mengajar di pesantren harus segera aktif kembali.
Syaratnya, dengan prinsip kehati-hatian tinggi untuk menghindari hal yang tak diinginkan. Pernyataan itu tidak berlebihan karena roh pesantren adalah ibadah.
Dalam keseharian, roh itu dijalani semua guru dan santri dalam kegiatan mencari ilmu, mengembangkan diri, ikut mengelola urusan operasional, mengembangkan kegiatan bersama santri dan masyarakat, bersiap menerima tamu atau mengelola pelajaran, dan memenuhi keharusan pertanggungjawaban kepada para pemangku kepentingan (Nafi', et al, 2007: 9-11). Selain ruh tersebut, posisi dan peran pesantren sejak lahir memang bukan lembaga pendidikan ansich. Pesantren juga merupakan lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, sekaligus simpul budaya.
Dalam perspektif inilah kita harus melihat antusiasme kalangan pesantren merespons wacana normal baru, meski masih dihinggapi beragam keterbatasan dan ketidakpastian di tengah pandemi. Posisi dan peran ini pula yang membuat pesantren merasa menanggung beban moral terbesar atas keterbatasan daya jangkau pembelajaran jarak jauh. Baik karena keterbatasan akses internet yang masih diwarnai digital divide, tidak tersentuhnya aspek afektif dan psikomotorik dalam proses pembelajaran, hingga ancaman kecanduan gawai yang membayangi santri belia jika tidak segera kembali ke pesantren.