REPUBLIKA.CO.ID, oleh Teguh Firmansyah*
Harus diakui peran China dalam percaturan internasional makin berpengaruh, baik secara aspek politik maupun ekonomi. Secara politik, China memainkan peranan kunci dalam peta konflik di dunia. China mempunyai "perseteruan" dengan banyak pihak, terutama dalam hal sengketa perbatasan. Di Laut China Selatan, China memiliki sengketa dengan negara-negara ASEAN, mulai dari Filipina, Vietnam, Malaysia, hingga Indonesia.
Klaim sembilan garis putus-putus yang menjadi dasar China untuk menguasai Laut China Selatan telah ditolak oleh putusan arbitrase pada 2016. Namun, karena Laut China Selatan terbilang kaya dan strategis sebagai salah satu jalur perdagangan maritim dunia, China tak mau melepaskannya begitu saja. Negara Tirai Bambu ini bahkan memperkuat kehadiran militernya di kawasan tersebut.
Masih ingat bagaimana kapal penjaga pantai China mengawal kapal nelayan mereka memasuki wilayah RI di perairan Natuna? Hal itu pun terjadi berulang karena China memegang pedoman berbeda dengan Indonesia terkait perbatasan.
China juga bersengketa dengan Jepang dan Korea Selatan di Laut China Timur. Sengketa paling nyata adalah klaim perebutan Kepulangan Senkaku/Diaoyu dengan Jepang. Provokasi antara kedua negara (Jepang-China) berulang kali terjadi sehingga meningkatkan intensitas ketegangan.
Terakhir, yang masih segar baru-baru ini adalah perseteruan antara China dan India di wilayah perbatasan kedua negara di Himalaya. Bentrokan mematikan ini menewaskan setidaknya 20 tentara India. Belum diketahui berapa jumlah pasti korban meninggal dari sisi China. Namun, otoritas di New Delhi yakin jumlah korban di pihak China mencapai dua kali lipatnya.
Konflik dengan India sebenarnya bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Kedua negara pernah terlibat perang pada 1962 untuk memperebutkan daerah perbatasan. Lebih dari 1.000 petempur India terbunuh dan kurang dari 800 tentara China tewas. Perseteruan ini tak terlepas dari sikap China yang tak mengakui perjanjian Inggris dan Tibet ihwal garis perbatasan McMahon Line pada 1914. Sebaliknya, India mengakui garis tersebut sebagai patokan perbatasan.
Soal kedaulatan negara, China juga berseteru dengan otoritas Taiwan. China menegaskan tak akan membiarkan Taiwan lepas dari bagian negara mereka. Salah seorang jenderal China pernah mengingatkan rencana penggunaan kekuatan militer jika Taiwan secara tegas mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka. Belakangan ini China beberapa kali mengirimkan jet tempurnya ke zona Taiwan.
Sementara itu, keinginan China untuk mencengkeram kuat Hong Kong melalui UU Keamanan Nasional telah membuat keributan di wilayah yang sebelumnya menjadi daerah kekuasaan Inggris itu. Bentrokan dan kerusuhan pecah di Hong Kong. Para aktivis menilai Beijing tak menghormati "satu negara dua sistem" sebagai sebuah kesepakatan bergabungnya Hong Kong kembali ke tanah China pada 1984.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pun mengingatkan China agar tidak melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Johnson menegaskan tidak akan meninggalkan rakyat Hong Kong begitu saja.
Pemerintah Inggris dan Pemerintah China pada 1984 menandatangani perjanjian Sino-British Joint Declaration yang menjadi dasar penyerahan Hong Kong ke Beijing pada 1 Juli 1997. Lewat perjanjian itu, Beijing menjamin status otonomi Hong Kong di bawah mekanisme "satu negara dua sistem" selama 50 tahun sampai 2047.
Dengan Amerika Serikat, China tak bosan-bosannya berkonflik. China tak mau begitu saja diatur oleh Amerika Serikat. Pertarungan kedua negara memanas setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden AS. Trump sejak awal menggencarkan perang dagang dengan Beijing, baik lewat tarif impor maupun pengetatan barang yang masuk.
AS juga mencurigai China telah mencuri teknologi yang dimiliki oleh Paman Sam. Sebagaimana diketahui tak sedikit perusahaan AS yang memilih mengembangkan usahanya di China karena faktor tenaga kerja lebih murah. Apple yang memproduksi Iphone termasuk di antara perusahaan AS yang memilih mengembangkan pabriknya di sana.
Konflik teranyar antara kedua negara terkait virus corona. Pejabat-pejabat Gedung Putih meyakini penyebaran virus Covid-19 ini terkait dengan laboratorium di Wuhan, China. Trump meminta China bertanggung jawab, setidaknya karena tak bisa mengekang virus itu keluar dari wilayah mereka sehingga menjalar ke banyak negara di dunia.
Trump yang kini sedang gencar berkampanye politik untuk pilpres menyebut virus Covid-19 dengan sebutan "kung flu", menyindir seni bela diri asli China. Beijing membantah sebagai macam bentuk tuduhan AS yang dinilai tak punya dasar dan bukti nyata.
Keberanian China melawan AS yang dianggap sebagai negara adidaya ini menunjukkan bagaimana kuatnya otoritas di Beijing dalam percaturan politik global. Kemandirian China dalam membangun ekonomi dan teknologi membuat mereka dapat berdiri dan berkepala tegak di hadapan Amerika Serikat.
China tak punya ketergantungan dengan Facebook ataupun Instagram karena mereka mempunyai teknologi sendiri. Dengan begitu, semua data milik warga negara tidak pindah ke perusahaan asing, terutama Amerika Serikat.
Secara ekonomi, kekuatan China tak perlu diragukan lagi. Sebagai pemain utama dalam rantai produksi global, produk-produk China menyebar ke berbagai belahan dunia, dari Benua Amerika hingga Timur Tengah, sehingga tak perlu kaget jika kita melihat barang kerajinan di Arab Saudi adalah buatan China. Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat. Banyak suvenir yang ternyata buatan China.
Pemerintah China telah mengubah sistem ekonominya yang tertutup pada 1970. Dengan sistem yang baru, investor asing dipersilakan masuk dengan kemudahan-kemudahan yang diberikan. Orang-orang kaya baru di China muncul. Salah satunya adalah Jack Ma yang menjadi pendiri Alibaba Grup.
Dengan sistem ini, China juga telah berkembang menjadi sebuah sistem kapitalisme negara. Artinya, negara memiliki peranan sentral dalam mengeksploitasi dan mengembangkan sumber daya ekonomi. Meski saat ini sudah melambat, pertumbuhan ekonomi China pernah mencapai rata-rata 10 persen sejak reformasi pasar pada 1978.
Sejumlah negara juga mulai bertransaksi dengan yuan (mata uang China), bukan lewat dolar AS, sebagai mata uang dunia. Salah satu negara yang memulai transaksi perdagangan dengan yuan adalah Turki. Pada 18 Juni lalu Bank Sentral Turki mengumumkan penggunaan mata uang yuan China pertama kalinya dalam sejarah ekonomi Turki.
Lewat kebijakan ini, perusahaan Turki di berbagai sektor membayar tagihan impor mereka dari China menggunakan yuan melalui bank terkait. Menurut pejabat Bank Sentral Turki, kebijakan ini akan mempermudah perusahaan Turki mengakses likuiditas internasional.
Jika yuan makin banyak digunakan, bukan tidak mungkin kedigdayaan AS yang ditopang oleh dolar AS perlahan akan mulai tergeser. Selama ini Amerika Serikat sangat diuntungkan dengan dolar AS sebagai mata uang dunia. Lewat dolar, Negara Paman Sam bisa mengatur transaksi, perekonomian, dan kapitalisme global.
Di sisi lain, dengan kemampuan ekonomi yang makin besar tersebut, belanja militer China juga terus meningkat. Pada 2019 lalu belanja militer China mencapai 261 miliar dolar AS atau naik 5,1 persen dibandingkan periode sebelumnya.
Laporan Pentagon menyebut China akan banyak membangun pangkalan militer di negara lain pada masa-masa yang akan datang. China perlu membangun pangkalan untuk melindungi jalur sutra baru.
Membangun pangkalan sangat memungkinkan bagi China sebab kontribusi negara Tiongkok itu dalam investasi atau penyaluran utang ke negara-negara lain sangatlah besar. Jeratan utang China bukan tak mungkin membuat kedaulatan sejumlah negara tergadai.
Peran militer China yang kian berpengaruh ini membuat Amerika Serikat khawatir. AS meminta Beijing agar transparan terhadap penggunaan anggaran miiternya. Namun, sekali lagi, China tak mudah begitu saja diatur. Kebijakan stick and carrot yang selama ini dilakukan oleh AS terhadap negara lain sepertinya tidak berlaku buat China.
Lantas, mungkinkah China menggeser AS sebagai sebuah negara adidaya?
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id