REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesantren al Azhari, Banyumas.
Dalam suatu kesempatan sebelum Pemilu 1955, orang orang NU protes mengapa tanda gambar PKI berupa palu arit dibubuhi tulisan 'PKI dan orang-orang tak berpartai'? Hal itu ditanyakan Idham Khalid selaku wakil NU dalam musyawarah partai partai bersama Menteri Dalam Negeri.
Idham Khalid berkata, Menurut NU, tanda gambar atau simbol PKI selama ini Cuma lukisan palu arit. Tak ada embel-embel kalimat dan orang tak berpartai”. Lalu dijawab Aidit: “PKI berpendapat bahwa banyak sekali orang orang yang tak berpartai tetapi memercayakan politiknya kepada PKI. Karena hasrat yang mulia itu kami tampung”.
Idham Khalid berkata menukas Aidit, "Tetapi tidak semua orang yang berpartai simpati kepada PKI. Dengan menyamaratakan semua orang tak berpartai seolah-olah simpatisan PKI jelas bahwa ada niat PKI mencatut nama rakyat bahkan hendak mengelabui rakyat."
Aidit kemudian menyela, “Saya protes saudara menuduh PKI mencatut nama rakyat bahkan mengelabui rakyat.”
Lalu Idham Khalid menjawab: “Protes saudara saya tolak. Saya sekedar menyatakan kenyataan yang saya rasakan”. Rekan separtai Aidit, Sudisman ikut berkomentar, “Darimana saudara merasakan PKI mengelabui rakyat”?
Idham Khalid menjawab, “Dari kenyataan yang ada dalam masyarakat. Disana banyak juga orang-orang yang tak berpartai yang bersimpati kepada NU, kepada Masyumi, kepada PNI dan sebagainya. Kalau terhadap mereka yang pandangan hatinya berbeda-beda lalu dituntut seolah-olah mereka ikut PKI semua, apakah ini bukan mencatut nama rakyat dan mengelabui mereka”?
Menteri dalam Negeri Mr Sunaryo yang ikut hadir dalam perbincangan menyela, ”Saya harap saudara Aidit mengindahkan keberatan pihak lain”.
S Hadikusumo juga menambahkan, “Saya kira PKI tidak boleh mengikuti kehendak sendiri. Semua tanda gambar dalam Pemilu harus diputuskan melalui kebulatan bersama”.
Lalu Aidit menjawab: “Kalau begitu saya usulkan agar NU juga menambah kalimat ‘NU dan semua orang Islam’ dibawah tanda gambarnya”.
Mendengan pernyataan Aidit Idham Khalid menjawab, “Tidak bisa! Bagaimana saya harus melakukan hal hal yang saya sendiri memprotesnya? Orang-orang Islam yang tidak berpartai itu hati kecilnya mempunyai simpati kepada partai tertentu. Ada yang bersimpati kepada Masyumi, PSII. Perti dan ada yang kepada PNI maupun IPKI dan sebagainya. Saya tidak ingin NU mencatut nama orang-orang yang tak berpartai seolah-olah pro NU semua.”
Karena protes Idham Khalid itu yang kemudian dicatat dalam memoar KH Saifuddin Zuhri 'Berangkat dari Pesantren', akhirnya kemudian tanda gambar 'PKI Cuma palu arit dan kalimat dan orang orang tak berpartai', ditiadakan”. Dan kemudian, usai pemilu, Tahun 1956 NU meninggalkan kabinet Burhanuddin Harahap dan mengakibatkan krisis politik sehingga kabinet jatuh disebabkan tak mampu menghadapi serangan serangan oposisi yang disponsosri NU dan PNI.
Hal itu membuka kesempatan PKI untuk ikut nimbrung meramaikan oposisi. Apalagi bisa disebut pada awaktu itu PKI bukan PKI kalau tidak menggunakan setiap kesempatan untuk main timbrung, ikut ikutan main meskipun tidak diharapkan.
Selanjutnya terkait kabinet baru yang hendak dibentuk, sikap NU memberi syarat kabinet ibaru tu kecuali mencerminkan kekuatan hasil Pemilu juga harus mencegah ikut sertanya PKI dan orang komunis lain yang terselubung dengan memakai nama organisasi lain. Ini karena sebenarnya sejak tahun 1951, NU memperlihatkan sikap anti komunis, semisal ketidaksetujuannya atas dibukanya hubungan diplomatik dengan Uni Sovyet dan RRC.
Pada bulan Desember 1956, Partai Masyumi melangsungkan Muktamar diBandung dan menelurkan keputusan untuk menarik dari Kabinet Ali-Roem-Idham dimana mayoritas kabinet berada dalam partai-partai Islam (Masyumi, NU, PSII Perti). Keputusan itu dibacakan Dr Sukiman dalam sidang DPR pada bulan Januari1957 menyusul situasi panas di Sumatera.
Adanya keputusan itu, NU kemudian mengambil sikap seperti diungkapkan Ketua Fraksi NU AA Achsien. Dia menyatakan bila keputusan Masyumi itu diambil secara tergesa-gesa. Kyai Wahab Chasbulah juga menyampaikan, “Sekiranya saya mengetahui ada niatan untuk menarik menteri-menterinya saya akan meyakinkan Masyumi bahwa hal itu amat merugikan perjuangan kita. Sebagai partai-partai Islam yang mayoritas dalam kabinet, menjadi tanggungjawab bersama kita memecahkan kemelut di dalam negeri secara musyawarah”.
Dengan munculnya kondisi seperti itu maka yang paling diuntungkan adalah PKI. Ini karena selama ini PKI selalu berusaha menghalang-halangi terciptanya koalisi PNI-Masyumi dalam satu kabinet. PKI amat mendendam karena Masyumi dan NU menghalang-halangi PKI untuk ikut kabinet Ali-Roem-Idham. NU dan Masyumi selalu menolak setiap move yang mengarah terwujudnya “kabinet berkaki empat” (PNI-Masyumi-NU-PKI).
Namun kemudian, Presiden Soekarno mewujudkan konsep “Kabinet kaki empat” dalam rangka pelaksanaan “demokrasi terpimpin”. Tapi, Masyumi, NU, PSII, Katolik dan PRI menolak. Adapun yang menyetujui ialah PKI, Murba, sebagian PNI, PRN, Persatuan Pegawai Polisi dan Baperki.
Dalam situasi ini, PKI makin merajalela. Mereka terus melakukan kampanye “pro konsepsi Presiden”. PKI memperoleh bahan bakar untuk menyalakan api fitnah dengan peristiwa lahirnya Dewan-dewan yang menyusul mundurnya Bung Hatta dan kemudian keluarnya Masyumi dari kabinet.
Dalam situasi ini angkatan bersenjata yang terdiri dari Mayjen AH Nasution dan komodor Suryadarma dan Laksanama Muda Subiyakto melakukan manuver. Mereka mengusulkan kepada Presiden Soekarno kondisi SOB (Staat van Oorlog) atau negara dalam keadaan bahaya. Setelah Ali Sastroamidjoyo menyerahkan mandat kabinetnya kembali ke Presiden. Sukarno berusaha membujuk Ketua PNI Suwiryo untuk membentuk kabinet baru. Presiden Sukarno kala itu menghendaki kabinet kaki empat (PNI, Masyumi, NU dan PKI).
Namun usaha ini gagal. Presiden Sukarno kelewat gandrung persatuan hingga termakan oleh ambisinya mempersatukan partai-partai yang sejak semula mempunyai unsur-unsur yang berbeda, yang mustahil dipersatukan”. Dalam situasi ini ada respons dari Kiai Wahab Chasbullah. Dia mengatakan, “Bagaimana politik Nasakom hendak diwujudkan padahal seacra prinsipil Nasionalisme bertentangan dengan komunisme, apalagi antar agama (terutama Islam)”, kata KH M Dahlan.
- Keterangan foto:KH Wahad Hasbulah di depan masa NU pertengahan tahun 1950-an.
Kiai Masykur juga memberikan tanggapan, “Yang penting bagaimana agar kita tidak melakukan politik konfrontatatif dengan Bung Karno yang sekarang berbeda dan bertentangan dengan PNI, Masyumi dan NU. Dan hal itu kemudian dkomentari H Zainul Arifin: “Saya setuju pikiran Kyai Masykur, situasi seperti sekarang membuat Bung Karno bertindak aneh-aneh dan ekstrem”.
Kiai Ilyas menambahkan, “Saya usulkan menghadapi masalah ‘Nasakom’ yang sudah dimaklumi pendirian kita dengan presiden tidak bisa dipertemukan, kita ambil sikap seperti dua orang tuli sedang bermusyawarah, masing masing berbicara menurut isi hatinya”. Pendapat Kyai Ilyas mengundang gelak tawa para hadiin.
Akhinya hal paling aneh dalam sejarah ketatanegaraan terjadi. Presiden Soekarno menunjuk seorang warga negara bernama Ir Soekarno untuk menjadi formatir dalam membentuk “zeken kabinet extra parlementer darurat”. Ir Juanda ditunjuk sebagai Perdana menteri dengan dua orang Wakil PM yaitu Mr Hardi (warga PNI) dan KH Idham Khalid (warga NU) dan menteri menteri yang berasal dari berbagai partai dan dipandang ahli.
Dengan kata lain, NU dan PKI ibaratnya seteru atau musuh meski di bawah satu selimut, yakni Nasakom.