REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Achmad K. Permana, Presiden Direktur PT Bank Muamalat Indonesia Tbk dan Sekretaris Jenderal Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo)
Corona Virus Disease 2019 atau lebih dikenal dengan sebutan Covid-19 pertama kali terdeteksi di Wuhan, Tiongkok pada bulan November 2019. Makhluk renik ini lantas menyebar ke penjuru dunia dan dengan cepat menginfeksi ribuan orang. Seketika perekonomian dunia terguncang. Tiongkok –yang terpaksa mengunci kota Wuhan – merupakan salah satu poros ekonomi dunia. Goyahnya perekonomian Negeri Panda ini membuat perekonomian global juga ikut terhuyung-huyung.
Di Indonesia sendiri kasus pertama Covid-19 diumumkan pada 2 Maret 2020. Sejak saat itu pemerintah segera bertindak dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akses manusia dan pergerakan barang dibatasi. Alhasil, mau tidak mau perekonomian nasional juga ikut megap-megap.
Perbankan sebagai urat nadi perekonomian merupakan salah satu sektor yang terkena imbas negatif dari pandemi Covid-19. Sebagai lembaga intermediasi, denyut bisnis bank sangat bergantung pada perputaran roda ekonomi, yang digerakkan oleh aktivitas masyarakat. Sehingga ketika masyarakat 'dipaksa' tinggal di rumah maka bank juga terpaksa rela untuk kehilangan potensi pendapatan.
Tentu saja kami para bankir tak pernah protes atas kebijakan pembatasan jarak fisik dan sosial. Sebaliknya, kami mendukung kebijakan tersebut seratus persen. Buktinya, segera setelah protokol kesehatan diterbitkan oleh pemerintah, perbankan termasuk salah satu sektor industri yang paling pertama menerapkannya.
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa situasi ini akan berdampak pada kinerja perbankan secara nasional baik terhadap bank umum, bank syariah, hingga BPR. Proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional yang diperkirakan berada di kisaran 2,3 persen adalah gambaran terang bahwa penyaluran pembiayaan sebagai sumber utama pendapatan bank untuk sementara tak bisa diharapkan.
Pendapatan masyarakat menurun drastis. Dan para pengusaha, jangankan meminjam, untuk membayar angsuran pun tidak mampu akibat cashflow yang turut berhenti. Karenanya, bank terpaksa menanggung beban yang tidak sedikit. Situasi ini harus dihadapi. Semakin cepat pandemi ini berakhir akan semakin baik.
Bagi bank syariah situasi ini memang tidak nyaman. Sebab boleh dikatakan kami adalah industri yang tergolong muda. Jika dihitung sejak Bank Muamalat pertama kali beroperasi pada tahun 1992 artinya industri syariah di Indonesia baru berusia 28 tahun. Bandingkan dengan bank-bank konvensional yang bahkan sudah ada yang eksis sejak Indonesia belum merdeka. Karena itu, kami sebagai 'anak muda' masih harus bekerja keras untuk meraih posisi yang mapan di pusaran perekonomian Tanah Air.
Sebelum Covid-19 menyerang, industri perbankan syariah nasional sejatinya tengah dalam kondisi yang cukup baik. Bahkan bisa dikatakan kami tengah menyiapkan diri untuk berlari kencang. Indikatornya jelas.
Secara nasional, perbankan syariah sudah mampu melepaskan diri dari bayang-bayang 5 persen trap. Per Desember 2019 pangsa pasar bank syariah nasional sudah mampu menembus level 6 persen.
Selain itu, sejumlah bank umum juga telah berhasil melakukan konversi menjadi syariah penuh seperti Bank Aceh dan Bank NTB. Bahkan beberapa bank lain juga telah mengutarakan niatnya untuk melakukan konversi. Niatan ini tentu saja muncul melalui kalkulasi matang yang berkaitan erat dengan potensi besar industri perbankan syariah di Tanah Air.
Walaupun begitu, hadirnya pandemi ini sebenarnya bisa disikapi secara positif yakni untuk mengukur seberapa kuat pondasi bank syariah Tanah Air dalam menghadapi krisis. Lagipula krisis seperti ini bukan pertama kali dialami oleh bank syariah.
Pada krisis 1998, Bank Muamalat selaku pionir perbankan syariah telah membuktikan bahwa bank syariah mempunyai fundamental yang baik sehingga mampu melalui badai krisis saat itu. Nah, kali ini dengan soliditas yang kuat plus dukungan maksimal dari pemerintah dan regulator saya yakin kita mampu melalui situasi ini.
Namun perlu dicatat ada perbedaan mendasar dari situasi 1998 dengan 2020. Pada krisis 1998 bank-bank konvensional kolaps karena tidak ada 'bantalan' dari regulator seperti yang ada saat ini. Sebagaimana kita ketahui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan sigap langsung mengeluarkan jurus dengan menerbitkan lima Peraturan OJK (POJK) yang merupakan tindak lanjut dari Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi.
Dengan adanya regulasi tersebut maka situasi yang dihadapi bank konvensional dan syariah saat ini setara. Karena itu, kita sebagai bank syariah dituntut untuk lebih kreatif dalam mencari cara agar bisa bertahan dan melakukan akselerasi begitu pandemi ini usai.