Ahad 28 Jun 2020 06:23 WIB

Perang Korea, Budaya di Unas, dan Universitas Siber Asia

Mengapa Korea tertarik menggandeng Unas untuk mengembangkan budaya serta melatih TKI?

Duta Besar Korsel untuk Indonesia, Kim Chang-Beom menghadiri wisuda Unas di Jakarta periode lalu.
Foto: Republika/Selamat Ginting
Duta Besar Korsel untuk Indonesia, Kim Chang-Beom menghadiri wisuda Unas di Jakarta periode lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Perang Korea hingga kini belum ada tanda-tanda akan berakhir. Statusnya masih gencatan senjata sejak 1953. Tidak terasa, perang saudara ini sudah berlangsung 70 tahun. Kamis (25/6) lalu, Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) memperingati 70 tahun perang saudara yang menyakitkan itu.

Surat kabar harian utama pemerintah Korut dan sejumlah koran di Korsel menandai pada Kamis (25/6), dengan berita utama tentang perang saudara yang tak kunjung padam. "Beberapa dekade telah berlalu, tapi bahaya perang tak pernah meninggalkan tanah ini," tulis koran Korut, seperti dilansir dari The Independent, Jumat (26/6).

Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, Korea merdeka dari Jepang. Negara Matahari Terbit itu menjajah Korea sejak 1910. Usai kekalahan Jepang dari Sekutu, pada 15 Agustus 1945, nasib Korea berbeda dengan Indonesia. Dua hari kemudian, Indonesia dengan cepat memproklamasikan kemerdekaannya. Memenfaatkan kekosongan kekuasaan (vacum of power).

Tidak demikian dengan Korea. Meraka terlambat memerdekakan diri. Negara itu keburu dikuasai Sekutu. Langsung ‘dikelola’ dua pasukan sekutu berbeda. Wilayah utara dikuasai tentara Uni Soviet. Wilayah selatan dikuasai tentara Amerika Serikat (AS). 'Penjajahan' kedua bagi Korea, kali ini oleh Sekutu, pemenang Perang Dunia Kedua.

Uni Soviet (kini Rusia) membentuk Tentara Rakyat Korut. Dilengkapi alat utama sistem senjata infanteri, kavaleri, artileri, dan zeni, serta pesawat tempur. Mesin perang yang siap diterjunkan di negara semanajung itu. AS terkejut. Mereka pun mempersiapkan diri membentuk pasukan serupa.

Keinginan menyatukan semenanjung Korea dengan jalan damai, tampaknya masih sebatas angan. Kekuatan militer menjadi pilihan untuk menyatukan melalui perang, seperti di Vietnam.

Cikal perang

Pada 1948, pemimpin wilayah selatan yang didukung AS adalah Syngman Rhee. Di sisi lain, ada Kim Il Sung, veteran perang yang bertempur bersama pasukan komunis selama perang saudara di negeri Cina. Kedua pemimpin mendeklarasikan wilayahnya sebagai Republik Korea (Korsel) dan Republik Rakyat Demokratik Korea (Korut). Situasi pun menjadi tegang.

Bentrokan militer pecah di sepanjang perbatasan. Didahului serangkaian pertempuran berdarah. Akhirnya, Tentara Rakyat Korea Utara menyerbu pada 25 Juni 1950. Menangkap tentara AS dan menyerang wilayah selatan. Terus merangsek mencoba mengambil alih kota pelabuhan yang strategis, Pusan.

AS menyerukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) agar menyatakan Korut sebagai agresor. Sekaligus meminta pasukan helm biru PBB menjaga di perbatasan. Pasukan ini menetap di Pusan. Kemudian, pertengahan September 1950, memukul mundur pasukan Korut dalam perang sengit. Tentara Korut mundur sampai garis paralel ke-38. Garis lintang yang digunakan untuk membagi negara-negara dan menjadi perbatasan de facto mereka.

Jenderal Besar Douglas MacArthur dari Korps Zeni Angkatan Darat AS turun langsung membela Korsel. Tentara Rakyat Cina pun turun gunung. Cina menggantikan posisi Uni Soviet sebagai sekutu utama Korut. Tentara merah Cina membalas, dan memukul mundur pasukan PBB dengan inti tentara Inggris dan Australia.

Pasukan PBB didorong kembali ke posisi jauh di selatan Kota Seoul. Tak mau kalah, pasukan Amerika dan Inggris kembali membalas dan perlahan-lahan maju ke utara lagi sepanjang musim semi tahun 1951. Kedua pihak akhirnya menetap di posisi sepanjang paralel ke-38. Di situlah awal kebuntuan dua tahun yang panjang. Korut didukung Uni Soviet dan Cina. Sedangkan Korsel didukung AS dan Inggris.

Perang ini menghancurkan Korut dan Korsel. Beberapa perkiraan menyebutkan 70 persen dari seluruh korban perang adalah warga sipil. Kedua pihak berupaya berdamai. Perundingan damai buntu saat membahas ribuan tawanan perang Korut yang ditahan di Pulau Koje, penjara di Korsel. Korut bersikeras tawanannya dikembalikan ke negara asalnya. Pada Juli 1953, Big Switch Operations menyaksikan masing-masing pihak menyerahkan ribuan tawanan melintasi garis kendali.

Pertempuran berakhir ketika gencatan senjata ditandatangani. Sayangnya. tidak pernah diratifikasi Korsel. Pada 27 Juli 1953, Demilitarized Zone (DMZ) atau Zona Demiliterisasi dibangun di sepanjang perbatasan. Sebuah komisi PBB didirikan untuk mengawasi gencatan senjata. Sepanjang perang berlangsung, sejarawan mengatakan antara 3 juta dan 4 juta orang terbunuh. Termasuk tentara AS, Inggris, dan Cina. Dan tentu saja tentara Korsel dan Korut serta warga sipil yang terbunuh.

Inilah 'perang abadi', karena tidak ada tanda perang akan segera berakhir dalam waktu dekat. AS menuntut agar pemimpin Korut Kim Jong-Un menghapus senjata nuklir yang berpotensi bisa mencapai daratan AS.

Perundingan denuklirisasi bersejarah antara Kim Jong-Un dan Presiden AS Donald Trump, terjadi di Singapura pada Juni 2018. Namun implikasi perjanjian itu hingga kini belum ada progresnya. Tingkat ketegangan masih sangat tinggi.

Film perang dan kebudayaan

Pusat Kebudayaan Korea di Indonesia memperingati tujuh dekade pecahnya Perang Korea. Mereka menyiapkan tiga film klasik Korea di layanan streaming. "Korean Cultural Center Indonesia menyelenggarakan  penayangan Film Korea klasik untuk merayakan peringatan Perang Korea ke-70 tahun selama tiga minggu sejak Rabu, 24 Juni 2020," demikian pernyataan Pusat Kebudayaan Korea melalui siaran pers.

Ketiga film tersebut dapat diakses melalui situs resmi Pusat Kebudayaan Korea di id.korean-culture.org. Pada pekan pertama, menayangkan The Red Scarf (1964), film berlatar Perang Korea yang disutradarai oleh Sang-wook Shin. Mengangkat kisah cinta seorang pilot jet tempur Angkatan Udara Korsel yang bertugas dalam perang.

Mulai 1 Juli 2020, akan menayangkan The Marines Who Never Returned (1963) atau Marinir yang tak Pernah Kembali, karya Lee Man-hee. Film yang meraih tiga piala di Grand Bell Awards ini berfokus pada kisah satu kompi Marinir yang bertarung bersama pasukan Cina di Korut. Satu per satu dari mereka tewas dalam pertempuran.

Sepekan terakhir mulai 8 Juli, giliran The Wild Chrysanthemums Have Been (1974) ditayangkan di situs resmi Pusat Kebudayaan Korea atau Korean Cultural Center Indonesia. Pusat Kebudayaan Korea juga membangun Korea Corner (Pojok Korea) di Universitas Nasional (Unas) Jakarta.

Memorandum kesepahaman ditandatangani Direktur Pusat Kebidayaan Korea, Dr Chun Youngpoung dan Rektor Unas, Dr El Amry Bermawi Putera, MA, awal 2020 lalu.

“Melalui Korea Corner ini masyarakat ataupun mahasiswa bisa meningkatkan pemahaman dan mengembangkan pengetahuan kebudayaan korea. Terutama bagi mahasiswa Unas yang menyukai budaya Korea. Sekaligus meningkatkan pertukaran budaya Indonesia dan Korea,” kata Chun di ruang Korea Corner Unas.

Desainnya  terinspirasi dari kebudayaan dan bangunan Korea. Mulai dari pintu depan yang terbuat dari ornamen kayu dan desain tradisional Korea. Terdapat pula media visual yang bisa mempromosikan konten dari Korea corner. Di depan pintu masuk dibangun  papan informasi mengenai segala kegiatan di Korea Corner.

“Kami akan memasukkan segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan Korea. Informasi pembelajaran, baju tradisional hanbok dan pengunjung bisa berfoto-foto ria. Ada tempat makan, tempat menonton film, dan gambar-gambar kebudayaan korea,” katanya.

Ia berharap, Korea Corner dapat menjadi tempat belajar sekaligus hiburan bagi mahasiswa. Chun mengungkapkan, terdapat lima  Korea Corner yang dibangun di kampus lainnya. Namun, Unas merupakan tempat yang cukup baik. Unas merupakan kampus pertama di Indonesia yang memiliki program studi Bahasa Korea.

Rektor Unas El Amry Bermawi Putera menjelaskan, pembangunan Korea Corner menjadi wadah bagi mahasiswa yang menyukai budaya Korea, baik K-drama, K-Pop dan sebagainya. Termasuk bagi mahasiswa yang ingin belajar di Unas sekaligus mengikuti pertukaran budaya Indonesia dengan Korea.

Menurutnya, saat ini ada ribuan peluang kerja terbuka luas di negeri Ginseng. Gaji yang menggiurkan, dengan nominal 8-10 kali gaji di Indonesia. Hal ini menjadi daya tarik ribuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk berbondong-bondong mengejar karier di negara yang telah menjadi salah satu raksasa Asia tersebut. “Unas membuka kesempatan bagi pemuda pemuda Indonesia untuk belajar tentang Korea di kampus swasta tertua di Jakarta ini,” kata Amry.

Dikemukakan, tidak hanya untuk profesi sebagai asisten rumah tangga saja. Melainkan juga semi profesional seperti bekerja di pabrik atau bidang lain di perusahaan Korea. Saat ini ada sekitar 40 ribu pekerja Indonesia yang bekerja di Korea dan sekitar 6 ribu orang datang dan pergi ke Korea untuk bekerja.

Untuk itu, kata doktor kebijakan publik tersebut, pekerja Indonesia harus mempersiapkan bekal untuk bekerja di Korea. Salah satunya mempelajari bahasa dan budaya Korea di Unas. Inilah perguruan tinggi pertama di Indonesia yang membuka program studi D-3 bahasa Korea. Saat ini telah diperluas dengan membuka S1 bahasa Korea.

“Selain itu kami juga bekerja sama dengan belasan universitas di Korea Selatan, seperti Cyber Hankuk University of Foreign Studies, Kyungpook National University dan Catholic Daegu University untuk meningkatkan kualitas pengajaran hingga pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi lain seperti penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,” kata Amry, menjelaskan.

Unas pusat Korea

Akademi Bahasa Asing Nasional (Abanas) bagian dari Unas, merupakan perguruan tinggi swasta yang dibina Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan. Abanas diresmikan YMIK sejak 1970 telah berpengalaman mapan selama 34 tahun. Pendirian program studi Bahasa Korea dirintis Rektor Unas saat itu, Prof Dr Mr Sutan Alisjahbana bersama himpunan alumni dari Hankook University, Seoul, Korea pada 1987.

Pada tahun yang sama, atas prakarsa kedua belah pihak kemudian didirikan Center for Korean Studies (CKS) atau Pusat Studi Korea. Inilah lembaga studi Korea pertama di Indonesia. Aktifitasnya meliputi kursus bahasa, seminar, riset dan beasiswa studi ke Korea.

Pada 1995, Abanas Unas membuka Program Studi Bahasa Korea (PSBK) jenjang diploma tiga bahasa Korea yang pertama di Indonesia. Pembukaan PSBK mendapat sambutan positif dari Kedutaan Besar Republik Korea (Korsel) dan perusahan/industri Korea di Indonesia. Apresiasi mereka diwujudkan dengan pemberian beasiswa kepada mahasiswa berprestasi pada hampir setiap tahunnya.

Untuk mempertahankan mutu akademik, Unas menghimpun staf pengajar sarjana strata satu dan dua dari universitas terkemuka di Korea seperti Hankook University, Yonsei University serta Seoul University. PSBK Abanas Unas diperkuat para penutur asing (native speaker) asal Korsel. Sebagian di antara para native itu telah mampu berbahasa Indonesia. Sehingga proses transfer of competency kepada mahasiswa semakin optimal.

Termasuk diberikannya lisensi tunggal bagi Unas untuk mengelola Korean Language Proficiency Test (KLPT) di Indonesia kepada CKS Unas. Penguasaan bahasa Inggris berstandarkan skor TOEFL, maka hal serupa untuk bahasa Korea distandarkan KLPT. Penguasaan KLPT akan disyaratkan bagi seluruh pekerja asal Indonesia yang akan bekerja atau magang di Korea.

Unas juga menjalin kerja sama dengan King Sejong Insitute (KSI). Mahasiswa Unas dapat belajar kebudayaan Korea. Salah satunya melalui program Munhwa Academy atau Akademi Kebudayaan, dua tahun lalu. Kegiatan ini mendatangkan empat guru dari KSI Korea untuk mengajar beberapa kebudayaan Korea yang menjadi minat tinggi bagi mahasiswa Unas.

Kelas yang dibuka, di antaranya film dan drama, menulis kaligrafi huruf atau abjad Korea (Hangeul), hanbook experience atau belajar mengenai pakaian tradisional Korea, dan memasak. “Lewat Munhwa Academy ini mereka bisa lebih mengenal kebudayaan Korea yang sedang trend di Indonesia. Menambah pengetahuan mengenai bahasa Korea yang biasanya digunakan sehari-hari,” ujar Konsultan KSI Jakarta, Kwon Young Sun.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement