Selasa 30 Jun 2020 16:07 WIB

Gangguan Stres Pascatrauma Hantui Pasien Covid-19 Parah

Pasien Covid-19 parah berisiko terkena gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Rep: Puti Almas/ Red: Reiny Dwinanda
Tenaga medis di Skotlandia mendapatkan donasi scrub (pakaian medis) yang funky untuk membuat mereka bersemangat dan menularkan energi positif ke pasien Covid-19.
Foto: SWNS Via Fox News
Tenaga medis di Skotlandia mendapatkan donasi scrub (pakaian medis) yang funky untuk membuat mereka bersemangat dan menularkan energi positif ke pasien Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang-orang yang menjadi pasien di rumah sakit karena infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) berisiko mengalami PTSD atau gangguan stres pascatrauma. Ini adalah kondisi yang biasanya muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan.

Kelompok kerja respons trauma Covid-19 yang dipimpin oleh University College London yang melibatkan para ahli dari Inggris mengungkapkan penelitian terkait hal ini. Dalam sebuah pernyataan, disebutkan bahwa pasien infeksi virus corona jenis baru yang paling berisiko terkena PTSD adalah mereka dengan gejala parah dan sampai berada dalam unit perawatan intensif.

Baca Juga

Dilansir BBC, para ahli mengatakan bahwa pemeriksaan rutin harus berlangsung setidaknya satu tahun. Lebih dari 100 ribu orang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 dan puluhan ribu di antaranya mengalami gejala sakit yang parah sehingga berisiko mengalami PTSD.

Kelompok kerja menyoroti penelitian yang menunjukkan 30 persen pasien menderita penyakit parah dalam wabah penyakit menular pada masa lalu telah mengembangkan PTSD. Sementara itu, masalah depresi dan kecemasan juga sering terjadi.

Tracy, salah seorang pasien Covid-19 yang kemudian menderita masalah psikologis setelah sembuh dari infeksi virus corona jenis baru, menceritakan kisahnya. Ia dirawat di Rumah Sakit Whittington di London pada Maret dan menghabiskan lebih dari tiga pekan di sana, termasuk sempat berada dalam unit perawatan intensif.

"Rasanya seperti berada di neraka. Saya melihat orang-orang sekarat. Semua staf medis yang mengenakan masker, seluruh wajahnya tertutup. Anda hanya dapat melihat mata mereka. Itu terasa sangat sepi dan menakutkan," ujar Tracy.

Hingga kemudian, Tracy dinyatakan pulih dan dapat keluar dari rumah sakit pada April. Perempuan berusia 59 tahun itu pun kemudian tidak merasa lega. Ia sering kesulitan tidur karena terus mengingat kondisinya saat kritis.

"Ini benar-benar sulit, secara fisik sangat lelah. Tubuh saya pulih, tetapi di sisi lain, mental saya tidak," kata Tracy.

Michael Bloomfield, seorang psikiater yang juga merupakan anggota kelompok kerja, mengatakan bahwa pasien Covid-19 di rumah sakit akan menghadapi pengalaman yang sangat menakutkan dan invasif. Kondisi ini juga ditambah dengan komplikasi jangka panjang bahwa mereka akan berisiko mengalami stres serta gangguan kesehatan mental terkait.

Terlebih, pasien Covid-19 juga harus diisolasi dari keluarga mereka saat berada di rumah sakit, sesuatu yang membuat masalah mental menjadi lebih buruk. Bloomfield menegaskan bahwa pasien tersebut mendapat dukungan penuh meski berada jauh dari keluarga sementara waktu.

Karena itu, nantinya semua pasien Covid-19 setelah menjalani perawatan di rumah sakit akan dijadwalkan memiliki sesi konsultasi lebih lanjut. Penilaian tentang bagaimana kondisi kesehatan mereka akan dilakukan saat sesi pertemuan tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement