Rabu 08 Jul 2020 06:03 WIB

Lenyapnya Pesona Gedung Bangsawan Eropa Berpesta di Batavia

Gedung Harmonie tempat bangsawan Eropa berpesta dihancurkan untuk parkiran Sekneg.

Rijswijkstraat di Batavia tahun 1920-an.
Foto: Tangkapan Layar
Rijswijkstraat di Batavia tahun 1920-an.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu

Foto ini bukan di Kota Budapest Hungaria, atau Kota Barcelona Spanyol, apalagi Kota Roma Italia. Ini juga bukan di jalanan salah satu kota di Eropa, tapi foto ini adalah pemandangan di salah satu jalan Kota Jakarta.

Nama jalan ini dulunya adalah Rijswijkstraat ketika Jakarta masih bernama Batavia. Foto ini diambil sekitar tahun 1920-an di mana bagunan-bangunan bergaya Eropa masih tampak gagah nan anggun. Di bagian kiri foto terlihat sebuah mobil bergaya hot rod yang terparkir di pinggir Gedung Societeit de Harmonie yang diratakan dengan tanah pada 1985. Nah, saya akan sedikit bercerita tentang gedung yang menjadi primadona di zaman gubernur jenderal Hindia Belanda.

 

Rijswijkstraat.

Gedung ini dulunya jadi tempat para geng hedon, sosialita, sampai Meneer-Meneer dandy zaman Batavia masih dijajah Belanda. Gedung yang berdiri di antara Jalan Veteran dan Jalan Majapahit ini diprakarsai oleh Gubernur Jendral Reinier de Klerk tahun 1776. Gubernur yang memerintah pada 1777–1780 ini mewarisi gedung Museum Nasional (Museum Gajah) dan Gedung Arsip Nasional.

Namun, gedung ini mulai dibangun pada masa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Pengalihan kekuasaan dari Belanda kepada Inggris, membuat pembangunan gedung ini dilanjutkan oleh Gubernur Jenderal Inggris periode 1811-1815, Thomas Stamford Rafless. Sayangnya gedung ini tak lagi bersisa, padahal Rafless pernah berkata: Jangan pernah sekali-kali menghancurkan apa yang kau tak bisa bangun kembali. Sayang sekali.

 

Gedung Societeit de Harmonie.

Okelah, kita kembali lagi ke cerita. Ada satu kejadian yang terekam abadi saat peresmian gedung tersebut. Gedung itu diresmikan Raffles pada 18 Januari 1815 yang bertepatan dengan perayaan hari ulang tahun Ratu Charlotte dari Inggris. Dalam peresmian itu, secara simbolis Raffles membuang kunci pintu gedung ke Sungai Ciliwung.

Momentum pembuangan kunci gedung bukan dilakukan sembarangan, karena ada makna di baliknya yakni berharap Societeit de Harmonie tak akan pernah tutup. Hasilnya sebenarnya cukup manjur, karena gedung itu berdiri dari masa Hindia Belanda sampai Batavia dalam kekuasaan Inggris.

 

Rijswijkstraat.

Benteng ini berdiri di atas lahan bekas sebuah benteng pertahanan beranama Rijswijk. Letak benteng ini dulunya berada di luar Kota Batavia sebagai pintu masuk kota dari arah selatan. Namun, Benteng Rijswijk rusak saat peristiwa pemberontakan orang-orang Tionghoa tahun 1740. Karena tak terurus, Gubernur Jenderal Daendels yang gencar-gencarnya sedang membenahi kawasan Harmoni memerintahkan Mayor Schultze, arsitek yang merancang istana di Lapangan Banteng, untuk merancang sebuah gedung di lapangan bekas Benteng Rijswijk.

Ketika masih berdiri di zaman Hindia Belanda, tak sembarangan orang diperbolehkan masuk ke dalam gedung tersebut. Rasisme yang sangat kental di masa penjajahan dulu sangat terasa. Hanya para pejabat dan pengusaha dari orang-orang kulit putih atau orang-orang Eropa saja yang menjadi anggota Societeit dan diperbolehkan menginjakkan kaki ke dalam gedung tersebut. Pribumi? Waduh ke laut aje deh.

Orang Indonesia atau pribumi baru boleh diizinkan masuk ke gedung berkapasitas sekitar 2.000 orang setelah mendapatkan akses dari Pemerintah Hindia Belanda. Itu pun yang diperbolehkan hanya yang bergelar bangsawan alias priayi.

Lantas apa sih istimewanya gedung tersebut? Nah, di dalam gedung itu, para pengunjungnya disuguhkan berbagai hiburan, seperti meja biliar, bermain kartu, berpesta minuman keras, pesta topeng, dan yang menjadi primadona adalah pesta dansa yang digelar saban malam Ahad. Mengapa pesta dansa-dansi paling digemari? Alasannya tak lain karena ada ratusan perempuan cantik yang dengan sukarela dan senang hati diajak melantai pada saat itu.

Lantai gedung itu terbuat dari pualam dengan lampu kristal gemerlapan yang menerangi para pengunjungnya. Para pengunjung biasa menghabiskan malam dengan minum anggur sambil berdansa-dansi hingga mabuk kepayang.

Jika ada pesta tentu ada ajang berhura-hura. Ada juga ajang pamer kekayaan yang ditunjukkan para pengunjungnya dengan pakaian mahal, perhiasan kemilauan, dan kendaraan mewah. Adu gengsi tak hanya sampai di sana, karena para pengunjung juga akan terbuka memberitahukan gaji mereka dalam satu tahun. Semakin banyak gulden didapat, semakin naik tingkat gengsinya.

H.C.C. Clockener Brousson dalam perjalanannya ke Hindia Belanda menceritakan dalam bukunya Batavia Abad 20. Ia mengaku takjub dengan keindahan sebuah taman dengan kursi-kursi yang berjejer rapi melingkari meja dan menghiasi gedung Societeit. Brousson mengaku takjub dengan suasana gedung yang disebutnya paling menawan di Batavia. Ada nuansa magis yang menjadi daya tarik dalam gedung itu.

 
https://i1.wp.com/luk.staff.ugm.ac.id/itd/Batavia/COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Tuin_van_societeit_Harmonie_Batavia_TMnr_60022744.jpg

Taman di timur Societeit de Harmonie di Batavia sekitar 1870-1900. Setiap Sabtu malam atau malam Ahad kerap digelar musik korps militer di tempat ini. Kini lokasi ini bagian halaman Sekretariat Negara Republik Indonesia (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Sayang seribu sayang, gedung ini bersama banyak gedung tua di Jakarta, seperti Hotel Des Indes dan Bioskop Capitol, menjadi tumbal revolusi. Gedung Societeit ditutup pada 1970-an, sebelum dirobohkan pada 1985 untuk perluasan jalan. Sebagian tanah bekas gedung ini berdiri sekarang menjadi tempat parkir kantor Sekretariat Negara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement