Kamis 09 Jul 2020 13:26 WIB

UU Keamanan Berlaku, Warga Hong Kong Hapus Jejak Digital

Hong Kong menghadapi penurunan internet gratis, kebebasan digital juga dibatasi.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Dwi Murdaningsih
Layanan internet (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Layanan internet (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Great Firewall China atau Tembok Api Besar China tampaknya turut diaplikasikan di Hong Kong.  Ini sebagai bagian dari undang-undang keamanan baru yang ditetapkan China atas Kota Hong Kong.

Seperti yang dilansir dari The Guardian, Kamis (9/7) Prospek Great Firewall Cina  mengkhawatirkan warga negara aktivis dan bisnis di Hong Kong. Banyak warga yang sudah cemas sejak undang-undang itu diberlakukan pekan lalu.

Baca Juga

Mereka bergegas menghapus jejak digital dari tanda-tanda perbedaan pendapat dalam protes tahun lalu. Seorang anggota parlemen pro-demokrasi yang mewakili sektor teknologi, Charles Mok menuliskan “Kami sudah berada di belakang firewall de facto” di Twitter.

Selain itu, Hong Kong menghadapi penurunan internet gratis dan terbuka. Undang-undang memberi otoritas wewenang untuk menuntut individu dan penyedia layanan menghapus konten atau akses ke konten yang dianggap mengancam keamanan nasional.

Staf dan individu perusahaan yang tidak patuh dapat dijerat denda dan hukuman penjara . Polisi yang menyelidiki kasus keamanan nasional juga dapat mengawasi komunikasi dan menyita perangkat elektronik.

Ketua Internet Society cabang Hong Kong, Charles Low mengatakan hukum tampaknya membangun Great Firewall secara lokal di Hong Kong. Kebebasan pribadi di internet akan dihilangkan.

“Jika Anda mengatakan sesuatu yang salah, mereka dapat meminta alamat IP atau nomor ponsel Anda sehingga mereka dapat menangkap Anda,” ujar Low.

Setelah langkah-langkah baru diumumkan, Facebook, Microsoft , WhatsApp, Google, Twitter, Telegram dan lainnya mengatakan mereka tidak akan memproses permintaan informasi dari pemerintah sampai mereka meninjau undang-undang tersebut. Sementara itu, TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan China ByteDance, mengatakan akan meninggalkan Hong Kong.

Sisi lain, para pengunjuk rasa, yang mengandalkan alat digital selama setahun terakhir untuk memobilisasi demonstrasi, sekarang menemukan platform yang sama digunakan untuk melawan mereka. Kelompok-kelompok politik telah bubar dan para aktivis yang sebelumnya vokal diam-diam meninggalkan media sosial.

“Akan ada kehilangan informasi yang tersedia untuk publik karena orang takut untuk berbicara. Mereka mengendaliikan wacana, bagaimana orang dapat berpikir tentang berbagai hal dana pa yang dapat mereka pikirkan. Ini sangat berbahaya,” ujar seorang aktivis hak digital, Glacier Kwong.

Para ahli mengatakan warga Hong Kong menggunakan alat-alat digital dengan sangat efektif terhadap pemerintah yang didukung Beijing sehingga pihak berwenang kini menargetkan ruang online. Gerakan yang meletus tahun lalu berhasil bergerak tanpa pemimpin melalui platform seperti forum LIHKG dan aplikasi perpesanan Telegram.

Selain itu, para ahli menunjukkan Great Firewall Cina tidak dapat segera direplikasi di Hong Kong. Dibutuhkan setidaknya beberapa tahun untuk membangun itu. Yang lebih mungkin adalah pemadaman parsial, memotong akses ke situs tertentu seperti LIHKG atau Telegram.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement