REPUBLIKA.CO.ID, Tiba di Rusun Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur tidak ada yang berbeda dibandingkan rumah susun lainnya. Suasana di sana tampak sepi. Hanya terlihat sekitar lima hingga enam anak yang sedang bermain di lantai dasar gedung rusun blok A itu.
Saat menuju lantai satu gedung tersebut, terdapat satu teras rumah yang cukup menarik perhatian. Terdapat sejumlah lukisan yang tergantung di depan rumah tersebut. Adapula papan nama bertuliskan 'Maheswari'.
Disinilah Aristawidya Maheswari bersama kakek dan neneknya yang sudah dianggap sebagai orang tua menjalani hidup sehari-hari. Saat memasuki rumah itu, terlihat sekitar puluhan lukisan berbingkai dengan berbagai ukuran yang tergantung. Sebagian besar merupakan hasil karya Arista.
Tidak hanya itu, di salah satu sudut rumah terdapat sebuah rak kayu yang terdiri dari lima susun. Tiga di antaranya terisi penuh dengan berbagai piala dan penghargaan yang diterima oleh Arista. Menurut perempuan berkacamata itu, sejak duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia telah memperoleh sekitar 700 penghargaan atas pencapaiannya dalam bidang seni, khususnya melukis.
Salah satu lukisannya pun pernah memperoleh Juara 1 Lomba Lukis untuk siswa SD dan karyanya itu dipajang di Galeri Nasional Indonesia dalam rangka Pameran Koleksi Seni Rupa Istana Kepresidenan Republik Indonesia.
Bahkan, Arista yang tahun ini baru saja lulus dari bangku SMP mendapatkan penghargaan sebagai 'Smart Student' dari sekolahnya, yakni SMPN 92 Jakarta. Meskipun memiliki segudang prestasi, kini Arista terpaksa harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Sebab, ia menghadapi sejumlah kendala saat akan mendaftar dengan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Jakarta 2020.
Arista bercerita, awalnya ia mencoba mendaftar melalui jalur prestasi non akademik dengan melampirkan sejumlah sertifikat penghargaan yang diterimanya. Namun, ia dinyatakan gagal.
"Kita sudah lampiran sertifikat, walaupun ya cuma sampai tingkat kota, itu ternyata enggak diverifikasi sama sekolahnya. Itu memang sudah dianggap berarti gagal," kata Arista saat ditemui di kediamannya, Kamis (9/7).
Ia kemudian kembali mencoba mendaftar lewat jalur afirmasi sebagai salah satu pemegang Kartu Jakarta Pintar (KJP). Akan tetapi, ia kembali dinyatakan gagal lantaran usianya telah melebihi syarat yang ditentukan. Saat ini usia Arista 15 tahun 8 bulan.
Pendaftaran melalui jalur prestasi akademik pun gagal ia tempuh. Sebab, kuota yang tersisa hanya sedikit, sedangkan jumlah pendaftar yang belum mendapatkan sekolah masih sangat banyak.
"Jadi sisanya, kuotanya sedikit, yang belum dapat sekolah banyak. Persaingannya jadi ketat banget," ujar dia.
Langkah berikutnya yang ia ambil adalah pendaftaran pada tahap terakhir yang dilakukan pada Rabu (8/7). Meski usia tidak lagi dipertimbangkan dalam jalur terakhir itu, Arista kembali harus menelan pil pahit kegagalan lantaran kalah bersaing dalam hal perolehan bobot nilai.
Ia memperoleh total nilai sebesar 7.762,4 berdasarkan akumulasi nilai rata-rata rapor 81,71 dikalikan nilai akreditasi 9,5 poin. Namun, rata-rata siswa yang diterima memiliki nilai 8.000.
Padahal, Arista sampai mencoba mendaftar ke salah satu SMA Negeri yang jaraknya sekitar 17 kilometer dari rumahnya. "Jauh enggak apa-apa deh, yang penting coba, coba bisa dapat atau enggak. Ternyata enggak bisa dapat, itu sudah menit-menit terakhir," ungkap Arista.
Perempuan yang bercita-cita menjadi Menteri Perlindungan Perempuan dan Anak itu pun terpaksa memutuskan untuk menunda pendidikannya di bangku SMA. Arista mengaku lebih tertarik pada sekolah negeri dibandingkan sekolah swasta. Sehingga ia tidak mencoba mendaftar di sekolah swasta.
"Enggak (daftar sekolah swasta). Coba berusaha untuk dapat sekolah negeri dulu deh," ucapnya.
Selama menunda sekolah, Arista menuturkan, dirinya akan fokus pada kegiatannya mengajar seni lukis bagi anak-anak jalanan serta di beberapa Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Ia melakukan hal itu secara sukarela sejak duduk di kelas 7.
"Aku mungkin bisa luangin waktu untuk berbagi untuk ngajar anak-anak di beberapa RPTRA dan yayasan. Jadi ya sudah, nggak apa-apa, nggak sekolah dulu," tuturnya sembari tersenyum.
Arista pun berharap agar ke depannya kebijakan pemerintah tidak lagi menyebabkan anak-anak menjadi korban lantaran sistem yang memiliki sejumlah persyaratan. Apalagi, menurut dia, saat ini anak-anak telah menjadi korban karena tidak dapat bersekolah akibat pandemi Covid-19.
"Tolonglah, kami anak-anak sudah jadi korban dari pandemi, kita enggak bisa UN, enggak bisa main, enggak bisa belajar di sekolah karena akhirnya diliburkan ya. Sudah jadi korban di situ, ditambah lagi sama korban PPDB online 2020 ini," kata Arista.
"Jadi kan kami sudah punya cita-cita sebenarnya untuk ke sekolah impian kami. Cuma karena sistemnya tiba-tiba seperti ini, jadi ya mau gimana lagi," sambungnya.
Sementara itu, ibu Arista, Siwi Purwanti mengatakan, dirinya saat ini hanya bisa pasrah. Dia pun mendukung keputusan Arista untuk menunda pendidikannya dan fokus mengajar melukis.
Meski demikian, Siwi mengungkapkan, sebelumnya Arista sempat menemui pihak DPR RI bersama dengan relawan PPDB dan Arist Merdeka Sirait.
"Waktu itu sudah menyampaikan keluhannya. Waktu itu DPR juga menyatakan bahwa akan diurus karena menurut DPR ini nggak pas juga cara PPDB-nya, sistemnya. Tapi, kenyataannya kan jalan terus," ucap Siwi.