REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Piter Abdullah, Direktur Core Indonesia
Sejarah mencatat bahwa pengalihan kewenangan pengawasan sektor jasa keuangan dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan kepada OJK harus melalui jalan yang terjal dan berliku sehingga membutuhkan waktu lebih 10 tahun hingga berdirilah OJK pada Nopember 2011 sesuai tanggal diundangkannya UU NO 21/2011 tentang OJK.
OJK didirikan dalam semangat besar untuk mewujudkan otoritas yang terintegrasi baik dalam mengawasi sektor perbankan, industri keuangan non bank dan pasar modal. Semangat pengawasan terintegrasi ala Indonesia inipun tidak bisa mudah dibandingkan dengan yang terjadi di belahan negara lain yang memiliki fungsi pengawasan terpisah dari bank sentral agar bank sentral berfungsi sebagai lender of the last resort penyedia likuiditas baik untuk industri jasa keuangan maupun penggerak perekonomian nasional.
Seperti lagu band Dewa separuh nafas, hilangnya wewenang pengawasan perbankan di Bank Indonesia dan pengawasan IKNB serta pasar modal di Bapepam LK menimbulkan luka yang besar serta rasa kehilangan yang dalam bagi dua institusi tersebut. Pengawasan sektor jasa keuangan adalah tugas yang penuh prestise. Dicabutnya kewenangan pengawasan jelas menimbulkan persepsi ketidakmampuan bagi kedua instiitusi itu.
Apalagi kemudian diketahui bahwa peninggalan pengawasan keduanya menyisakan banyak barang-barang busuk yang baru terbongkar setelah OJK bekerja. Satu per satu persoalan dari perusahaan-perusahaan peninggalan pengawasan oleh otoritas lama mulai mencuat ke permukaan seiring reformasi pengawasan yang dilakukan OJK dengan ketat.
Kembali ibarat lagu Bengawan Solo, berbagai kasus sektor jasa keuangan yang muncul itu ternyata sudah menjadi riwayat panjang yang kemudian mengalir sampai jauh.
Salah satu yang meledak adalah kasus asuransi Jiwasraya. Kejaksaan Agung sudah membongkar kasus korupsi di asuransi milik negara ini dan sudah masuk tahap persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat. Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini seperti mantan Dirut Jiwasraya periode 2008 – 2018 Hendrisman, mantan direktur keuangan Jiwasraya periode 2013 – 2018 Hary Prasetyo dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan. Terakhir Kejaksaan Agung juga menetapkan salah seorang pejabat OJK yang disangkakan terlibat bersama 13 Manajemen Investasi lainnya.
Dalam satu momen persidangan kasus tersebut, seorang saksi menyatakan bahwa perusahaan ini sudah mengalami insolvensi atau tidak mampu membayar kewajiban kepada pemegang polis sejak 2008 dan ditutup-tutupi agar perusahaan itu bisa terus berjalan.
Sebuah media berita online menuliskan bahwa permasalahan keuangan Jiwasraya sudah terjadi pada 2004. Kala itu insolvensi mencapai Rp 2,769 triliun. Tahun-tahun berikutnya, kondisi Jiwasraya makin parah. Bahkan pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban.
BPK bahkan memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya. Sementara pada 2008 defisit Jiwasraya semakin lebar hingga Rp 5,7 triliun di 2008 dan Rp 6,3 triliun di 2009.
Muncul pertanyaan sangat besar, kenapa pada saat Jiwasraya sudah mengalami insolvensi atau defisit sangat besar, otoritas pengawas asuransi saat itu Bapepam LK dan Pemerintah sebagai pemilik seakan tutup mata dan tetap membiarkan Jiwasraya tetap beroperasi dengan berbagai rekayasa-rekayasa keuangan.
Pada 2011, Bapepam LK justru memberikan izin bagi Jiwasraya me-make-up laporan keuangannya dengan melakukan skema re-asuransi sehingga perusahaan mencatatkan surplus sebesar Rp 1,3 triliun di akhir tahun 2011. Kemudian pada 2012, Bapepam-LK memberikan ijin produk JS Proteksi Plan (18 Desember 2012 - Produk bancassurance dengan Bank BTN, KEB Hana Bank, BPD Jateng, BPD Jatim, dan BPD DIY). Produk JS Plan inilah yang kemudian mencuat dan memicu kegaduhan publik karena gagal dibayar oleh Jiwasraya pada Oktober 2018.
Momen peralihan pengawasan dari Bapepam LK ke OJK di 2013 tentu menjadi hal yang krusial. Apakah para pengawas OJK yang baru mendapatkan informasi yang lengkap dan jujur atas kondisi sebenarnya di Jiwasraya ini. Atau justru ada upaya menyembunyikan fakta buruknya kondisi keuangan Jiwasraya dengan hanya menyampaikan laporan keuangan yang sudah melalui proses rekayasa melalui re-asuransi dan penjualan JS Plan.
Upaya menutupi kondisi Jiwasraya terlihat berhasil karena OJK yang baru berdiri dengan kondisi yang kekurangan fasillitas masih sibuk dengan penyediaan infrastruktur pekerjaannya termasuk menyusun tata kerja pengawasan yang baru.
Praktis operasional Jiwasraya tidak tersentuh hingga meledaknya kasus ini di 2018, meski pada 2015 dan 2016 OJK sudah meminta Jiwasraya memperbaiki produk JS Plan yang tidak sesuai dengan kemampuan pengelolaan investasinya. Bahkan pada 2017, OJK memberikan Sanksi Peringatan Pertama karena terlambat menyampaikan laporan aktuaris tahun 2017.
Ibarat film, kasus Jiwasraya adalah skenario besar untuk menyembunyikan borok parah perusahaan milik negara itu sehingga tetap beroperasi bahkan menjual produk ‘cantik’ yang membius para investor bankansurance hingga triliunan rupiah. Direktur Utama dan Direktur Keuangan Jiwasraya yang sudah menjadi tersangka mungkin hanya aktor-aktor film drama panjang ini. Namun, otoritas pengawas lama yang membiarkannya sejak 2004 bahkan memberikan izin Jiwasraya merekayasa keuangannya adalah sutradara dan produser utama film ini yang juga harus diungkap ke publik.
OJK sebagai otoritas pengawas baru yang didirikan dengan banyak “kelemahan” hingga saat ini tentu tidak bisa menolak saat pengawasan Jiwasraya juga dialihkan ke OJK, yang kemudian juga menyeret seorang pejabatnya. OJK juga tidak bisa menghindar kecaman publik terhadap kinerjanya karena dianggap lalai dan lemah akibat kasus Jiwasraya ini.
Stigma bahkan semakin terbentuk setelah ada pejabat OJK yang disangkakan juga terlibat. Tentu saja ini menjadi catatan sejarah besar perjalanan otoritas sektor pengawasan di negara ini yang reputasinya menjadi buruk karena banyak mendapatkan warisan perusahaan busuk dari otoritas pengawasan sebelumnya.
Menurut catatan kami, masih ada sejumlah perusahaan buruk yang masih akan menjadi PR bagi OJK dan berpotensi besar menambah buruknya penilaian masyarakat atas kinerja pengawasan OJK. OJK tentu berupaya keras agar bisa menyehatkan perusahaan-perusahaan yang sudah sakit lama itu, karena OJK bukan rumah sakit yang bisa menolak pasien yang sudah sakit parah dan sekarat. Apalagi masyarakat beranggapan para pengawas di OJK juga sebelumnya pegawai dari Bapepam-LK dan Bank Indonesia yang seharusnya juga tahu kondisi pasien sebelumnya.
Kasus Jiwasraya harus menjadi pelajaran besar bagi para pengambi keputusan di sektor keuangan negara ini. Apapun alasannya penerapan good corporate governance tidak boleh diabaikan atau ditawar. Otoritas bukan lembaga yang boleh melegitimasi adanya rekayasa-rekayasa keuangan untuk menutupi sebuah keburukan apalagi kejahatan.
Belakangan OJK yang sudah menjalankan reformasi pengawasan di sektor jasa keuangan dengan ketat justru terus menerus digoyang oleh berbagai pihak yang kepentingan bisnis busuknya mulai terganggu pengawasan OJK itu. Bahkan sampai isu OJK dibubarkan atau pengembalian kewenanganan pengawasan bank ke Bank Indonesia. Informasi yang beredar, sudah banyak pejabat OJK yang nyawanya diancam oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab.
Sektor jasa keuangan adalah jantung perekonomian nasional yang sejatinya harus dijaga bersama demi kepentingan kemajuan negara ini. Upaya menjaga industri jasa keuangan agar tetap stabil, berkontribusi bagi perekonomian nasional dan peningkatan kesejateraan masyarakat adalah kepentingan bersama yang harus didukung dan diperkuat oleh semua pihak dan bukannya untuk dilemahkan.