REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dradjad H. Wibowo, Ekonom Senior INDEF dan Ketua Dewan Pakar PAN
Baru saja saya dikagetkan oleh berita the Washington Post. Link berita itu dikirim oleh sahabat saya, orang Amerika yang anaknya menjadi dokter di rumah sakit perawatan pasien COVID-19.
Mengutip riset yang dilakukan terhadap pasien Veteran Affairs di AS, ternyata pemberian hydroxychloroquine kepada pasien COVID-19 justru terkait dengan tingkat kematian yang lebih tinggi.
Studi yang dilakukan oleh Joseph Magagnoli dan kawan-kawan ini dipublikasikan di medrxiv.org. Ini adalah situs “clearinghouse” bagi riset coronavirus yang belum melalui proses “peer-review” atau belum diterbitkan di jurnal akademis.
Data diperoleh dari 368 pasien pria. Sebanyak 97 pasien diobati hidroksiklorokuin, 113 pasien diobati kombinasi hidroksiklorokuin dan antiobiotika azithromycin, dan 158 pasien tanpa hidroksiklorokuin.
Hasilnya, pasien tanpa obat klorokuin tingkat kematiannya 11.4%. Sementara yang diberi obat justru mempunyai tingkat kematian dua kali lipat atau lebih! Yaitu di atas 27% untuk pasien dengan hidroksiklorokuin dan 22% untuk pasien dengan obat kombinasi.
Ketika pertama kali klorokuin dimunculkan, beberapa dokter spesialis memberi tahu saya tentang bahaya efek sampingnya. Yaitu aritmia atau detak jantung tidak normal, bisa terlalu cepat atau terlalu lambat. Saya tidak tahu apakah ini ada kaitan dengan tingginya kematian di atas.
Studi di atas memang sifatnya hanya observasional. Bukan uji klinis prospektif, acak, buta ganda dengan plasebo, yang menjadi standar baku uji klinis.
Namun karena tingkat kematiannya dua kali lipat atau lebih, kita perlu waspada. Apalagi Indonesia ikut serta dalam Solidarity Trial dari WHO, di mana klorokuin menjadi salah satu obat yang dicoba.
Saya bukan ahli medis. Tapi Case Fatality Rate (CFR) COVID-19 di Indonesia tergolong cukup tinggi. CFR, populer disebut tingkat kematian, menjadi salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kepercayaan bisnis, konsumen dan investor. Dia membuat pelaku bisnis takut bergerak. Jangan lupa, Indonesia sudah kehilangan cukup banyak pebisnis dan profesional karena COVID-19.
Jadi dengan adanya hasil studi di atas, saya harap Kemenkes dan IDI meninjau ulang pemberian klorokuin terhadap pasien COVID-19. Para dokter jauh lebih paham tentang apa yang harus dilakukan. Berikut ini link-nya
https://www.washingtonpost.com/business/2020/04/21/anti-malarial-drug-trump-touted-is-linked-higher-rates-death-va-coronavirus-patients-study-says/