REPUBLIKA.CO.ID -- Penulis: Adhe Nuansa Wibisono, MSi*
Keputusan Turki untuk menetapkan Hagia Sophia kembali menjadi masjid menimbulkan respons beragam baik di domestik Turki sendiri maupun publik internasional.
Presiden Recep Tayyip Erdogan melalui siaran televisi nasional mengumumkan keputusan itu setelah pengadilan Turki membatalkan satus museum Hagia Sophia pada Jumat (10/07/2020).
Pengadilan administratif Turki membatalkan dekrit pemerintah dari era Mustafa Kemal Ataturk pada 1934 yang menjadikan Hagia Sophia sebagai museum.
Erdogan menjadikan momen ini sebagai bentuk glorifikasi dan kemenangan kaum Islamis dengan menyatakan kebangkitan Hagia Sophia merupakan pertanda awal pembebasan Masjid Al-Aqsha.
Sebuah pesan politik yang ditujukan kepada para pendukungnya terutama sebagai bagian dalam pemenuhan janji kampanye pemilu presiden 2018 silam.
Dalam proses keputusannya di pengadilan, Dewan Negara kemudian menyatakan bahwa Hagia Sophia merupakan properti kepemilikan dari Sultan Mehmed II yang menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453.
Sultan Mehmed II kemudian mendaftarkan Hagia Sophia sebagai wakaf abadi yang hanya diperbolehkan untuk digunakan sebagai masjid.
Negara dianggap bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan bangunan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf. Dengan demikian keputusan kabinet pada tahun 1934 yang menjadikan situs itu sebagai museum, otomatis menjadi batal demi hukum.
Keputusan ini membawa sentimen negatif di kalangan negara-negara Kristen Ortodoks dan juga dari kelompok oposisi Turki.
Hagia Sophia merupakan bahasa Yunani untuk “Holy Wisdom” yang dibangun pada abad ke-6 di masa Kekaisaran Bizantium.
Yunani sebagai rumah bagi jutaan pengikut Ortodoks menyebutkan keputusan itu sebagai “provokasi terbuka”, sementara Gereja Ortodoks Rusia menyesalkan keputusan tersebut.
AS melalui Departemen Luar Negeri-nya juga menyatakan kekecewaan, tetapi semua kritik terhadap sikap Turki ini dijawab Erdogan dengan mengatakan bahwa ini adalah urusan domestik dan Turki akan bersikap independen dari tekanan pihak asing.
Tentu saja sikap Turki ini akan mempengaruhi hubungan Turki dengan Yunani yang akan semakin memperkeruh isu eksplorasi gas di Laut Mediterania. Selain itu juga akan berpengaruh pada hubungan Turki-Rusia yang cukup dinamis dalam beberapa front konflik seperti Irak, Suriah dan terakhir Libya.
Selain itu penentangan terhadap isu Hagia Sophia juga muncul dari kelompok oposisi Partai Rakyat Republik (CHP) terutama dari Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu yang memberikan pernyataan pada Forum Ekonomi Delphi pada bulan Juni 2020 silam.
Imamoglu menyatakan bahwa dia tidak melihat adanya kebutuhan mendesak menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid. Imamoglu menyatakan bahwa rezim kepresidenan jangan menggunakan isu ini sebagai isu politik domestik. Masalah Hagia Sophia adalah urusan pemerintah kota Istanbul dan bukan menjadi tanggung jawab dari lembaga kepresidenan (Takvim, 2020).
Terlihat dari pernyataan ini bahwa kelompok oposisi melihat Presiden Erdogan memainkan isu Hagia Sophia ini sebagai bentuk dari pergeseran isu yang menarik perhatian rakyat Turki dan digunakan untuk memperkuat dukungan politik kepada Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan Erdogan, terutama dalam pemilu Presiden 2023 mendatang.