REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Denny JA
“Tak ada Amerika yang liberal atau Amerika yang konservatif. Tak ada Amerika kulit hitam atau Amerika kulit putih. Tak ada Amerika rasa Asia atau Amerika rasa Latino. Yang ada hanya Amerika. Satu Amerika.”
Ini terjemahan bebas dari pidato Obama di era kampanye pemilu presiden Amerika Serikat 2009. Dalam populasi pemilih di negaranya, total kulit hitam hanya 13.4 persen saja. Untuk menang pilpres, katakanlah semua pemilih kulit hitam memilihnya, itu pun masih tak cukup.
Obama mempelajari kegagalan calon presiden kulit hitam sebelumnya. Mulai dari Allan Keyes (1992), Jack Jackson (1984), Shirley Chisholm (1972), Channing E Philips (1968), George Edwin Taylor (1904).
Umumnya calon presiden kulit hitam sebelumnya terlalu mengangkat ketidak adilan yang dialami kulit hitam. Identitas sosial kulit hitam terlalu ditonjolkan. Akibatnya, calon presiden kulit hitam itu memang mendapatkan dukungan melimpah dari pemilih kulit hitam. Tapi mayoritas pemilih kulit putih merasa tak nyaman.
Obama sebaliknya. Ia tidak mengedepankan identitas kulit hitam. Ia melakukan positioning yang disebut “race- neutral approach..” Yang ditekankan lebih kepada isu bersama, yang merangkum semua pemilih, terlepas dari identitas sosialnya: kulit putih atau kulit hitam, Asia atau Latino. (1)
Obama fokus kepada isu kualitas hidup seperti jaminan kesehatan, kesempatan memperoleh pendidikan, kesempatan kerja bagi kelas menengah bawah. Tak terdengar retorik ras. Obama membuat dirinya menjadi juru bicara semua ras dan identitas sosial yang tak puas dengan situasi saat itu.
Obama pun membuat kemenangan yang historik. Dalam sejarah presiden Amerika Serikat, umumnya presiden berasal dari WMP (White, Male, Protestant). Hanya dua presiden Amerika Serikat yang tidak WMP. Yaitu John F Kennedy yang katolik. Dan Obama yang kulit hitam.
Kemenangan Obama adalah kemenangan marketing politik. Tapi apa itu marketing politik? Apa saja cakupannya?