Rabu 15 Jul 2020 07:19 WIB

Sri Susuhunan Pakubuwana X dan Islam

PB X berharap para lulusan Mambaul Ulum merupakan para ulama penyebar Islam

Kasori Mujahid
Foto: YouTube
Kasori Mujahid

Oleh Kasori Mujahid (Pemerhati Sejarah)

REPUBLIKA.CO.ID, Banyak pihak yang berusaha menafikan peran raja-raja Mataram Islam dalam menegakkan ajaran agama Islam di Pulau Jawa ini. Yang lebih parah lagi adalah lembaga-lembaga bentukan kolonial, sejak Belanda menjajah hingga saat ini, secara serius berusaha memisahkan antara keraton dan Islam, dan bahkan antara Jawa dan Islam.

Upaya-upaya sedemikian sistematis, dimulai pasca Perjanjian Giyanti 13 Pebruari 1755, ketika Mataram Islam dipecah belah wilayah kekuasaan, pengaruh, dan eksistensinya. Selanjutnya, mulai awal Abad XIX hingga pertengahan dilakukan usaha-usaha yang pada hakikatnya bertujuan untuk mengambil dasar agama Kristen sebagai suatu dasar perpaduan antara kerajaan Belanda dan negeri jajahannya sehingga penjajahan dapat dipertahankan untuk selama-lamnya. 

Usaha-usahanya banyak yang berhasil, dengan modus menonjolkan sisi-sisi kelebihan agama dan kebudayaan Budha dan Hindu, dan menafikan peran Islam. Mereka juga membikin seolah-olah tidak ada perbedaan dalam ajaran Islam dan Hindu dan mencampur-adukkan kedua ajaran agama tersebut (sinkritisme).

Banyak riset  yang dilakukan  sejak zaman kolonial  Belanda,  juga Inggris dan para penerusnya hanya melihat  sejarah dan kebudayaan Hindu dan Budha di Jawa dan meniadakan peran Kesultanan Demak, Pajang, dan Mataram Islam dalam mengusir penjajah dan menjadi penyangga kesatuan negara Republik Indonesia.

photo
Pakubuwana X - (Wikipedia)

 

Di samping usaha-usaha yang berbasis budaya, Belanda juga menerapkan politik Ethis yang berlatar belakang misi penginjilan Kristen dengan mengerahkan sumber daya yang sangat besar agar bangsa ini menukar akidah Islam dengan keimanan Kristen atau setidaknya kaum Muslim menjadi lemah keimanannya dan meniru tata cara peradaban Barat Kristen.

Di antara penerus Demak adalah Keraton Surakarta yang sedemikian besar dan berpengaruh pun mengalami hal yang sama, yakni pengerdilan peran dengan dibuat tidak berdaya dalam mengelola kerajaan dan wilayah kekuasaannya.  Tidak akan pernah ada yang menyangsikan kebesaran dari para raja-raja Surakarta dalam membela dan berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini. Tetapi sejarah  membuktikan bahwa seperti ketika Keraton Surakarta di bawah penjajah Belanda, setelah Indonesua medeka pun  keraton ini dan kesultanan-kesultanan lain di Indonesia nampak hanyalah “simbol” belaka dan tidak punya kuasa dan kekuatan yang memadai sekedar untuk “hidup”  dan  mengkader penerus kerajaan mereka.

Diantara raja terbesar Kasunanan Surakarta adalah Sri Susuhunan Paku Buwono (PB) X yang berjasa besar mengembangkan agama Islam di Jawa dan menguatkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara menuju kemerdekaan dan kedaulatan negeri tercinta, Indonesia. Sebagai raja sebuah kerajaan yang berdaulat yang memerintah dua pertiga tanah Jawa, dalam rentang waktu yang hampir setengah abad, memainkan peran penting membela hak-hak rakyat dan kehormatan warga bangsa ini  yang telah diinjak-injak, menurut penuturan Tjokroaminoto, hingga sekelas kambing oleh penjajah Belanda.

Kanjeng Susuhunan PB X lahir tanggal 21 Rejeb 1795 atau 29 November 1866. Nama kecilnya adalah Bendara Raden Mas Gusti Sayiddin Malikul Husna. Sejak lahir diambil anak oleh eyang dalem Gusti Kanjeng Ratu Agung, permaisuri PB VI. PB VI (memerintah tahun 1823 – 1830) dibuang Belanda ke Ambon pada tahun 1831 karena membantu perjuangan Pangeran Dipanegara dan wafat dalam usia 42 tahun, karena dieksekusi Belanda di Ambon pada 2 Juni 1849.

Sebagai cucu PB VI, beliau memahami akan kepahlawan eyang dalem yang gigih melawan penjajah dan harus dilanjutkan  sebagai perjuangan membela rakyat dan  tanah airnya. Setelah Perang Dipanegara berakhir tahun 1830, secara praktis bermula penjajahan Belanda di Jawa yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya penjajah Belanda mengeksploitasi dan  menguasai Pulau Jawa, dan hampir tidak ada satupun tantangan serius (tidak ada lawan sebanding) terhadap kekuasaan mereka sampai Abad XX.

PB X bertahta di Surakarta Hadiningrat pada tanggal 30 Maret 1893 bertepatan 12 Ramadhan 1310 H dan memerintah hingga wafatnya 22 Pebruari 1939. Beliau adalah putra PB IX. Kawula negari Surakarta memberi gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Hingkang Kaping X. Beliau juga dikenal  sebagai Sultan Abdurahman al-Asyir (X).

Sebutan dan gelar “Sayidin Panatagama” dari para raja Islam memiliki makna khusus dan mempunyai kedudukan yang mulia dalam agama Islam. Menurut Babad Tanah Jawa, gelar ini telah ada sejak masa Sultan Fatah bertahta di Kesultanan Demak (1479-1518). Walaupun dimungkinkan bahwa bersatunya gelar Panatagama bagi sultan atau sunan baru terjadi di masa Mataram Islam, karena di masa Demak, gelar ini masih dalam “pemilikan” para Wali Sanga untuk mengarahkan para sultan agar tetap berada dalam bimbingan ajaran agama Islam.

Dalam acara penobatan calon raja sebagai panatagama,  seorang calon raja atau sultan/sunan diwajibkan mengenakan busana serba putih (jubah) dan diwajibkan pergi ke Masjid Paramasana (lingkungan keraton). Calon raja duduk di tempat pengimaman dan di sebelah kanannya duduk para pangeran dan sentana (pejabat). Di sebelah kiri duduk para penghulu Islam. Sedang di hadapannya, duduk sang patih dan para bawahannya. Detik-detik penobatan calon raja sebagai “Panatagama” adalah para penghulu (ahli waris dan keturunan Wali Sanga) menghaturkan sembah dan calon raja memberikan ijazah kepada para penghulu sebagai wali hakim.

Kanjeng Susuhunan PB X dikenal  sangat dekat  dengan kalangan ulama. Beliau mendirikan lembaga pendidikan Islam formal di lingkungan keraton Kasunanan Surakarta bernama Mambaul ‘Ulum (sumber ilmu) pada tahun 1905.  Beliau ingin membentuk kader-kader ulama, mendidik calon pejabat keagamaan yang ahli.  Sekolah ini diketuai oleh seorang Penghulu Tafsir Anom. Pihak keraton menunjuk Kiai Bagus Arfah untuk memimpin Mambaul Ulum. Para guru yang mengajar diambil dari abdi dalem ulama yang disebut Muallim. Mereka banyak berasal dari lulusan Pesantren Termas Pacitan dan Tegalsari Ponorogo.

Murid-muridnya adalah anak para penghulu, anak ulama, dan anak para guru. Para murid disebut dengan istilah Mutakallim. Mereka tidak hanya berasal dari Solo, tetapi juga banyak dari kota-kota di Jawa Timur. Lama pendidikan 11 tahun, yang dibagi menjadi 11 tingkatan kelas, yaitu: Bagian I disebut Ibtidaiyah dari mulai kelas I-IV, Bagian II (Wusta), dari mulai kelas V-VIII, dan Bagian III (Ngulya) dari mulai IX-XI. Mata pelajarannya berjumlah 15: Al-Qur’an, Tafsir, Hadits, Fiqih, Tauhid, Akhlak, Bahasa Arab, Ilmu Falak, Berhitung, Ilmu Ukur, Seni Rupa, Ilmu Mantiq, Ilmu Mendidik, Bahasa (Jawa, Melayu), dan Tarikh Islam.  

Tata tertib dan manajemen Mambaul ‘Ulum disesuaikan dengan sistem pengajaran Belanda, tidak seperti pesantren saat itu, yaitu memakai sistem kelas, memakai papan tulis, dan berijazah. Sekolah ini berkembang pesat dan lulusannya mendapat tempat terhormat di masyarakat. Selain berada di kompleks Masjid Besar Keraton, sekolah tersebut juga berdiri di kota-kota kabupaten sampai kelas IV dan dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di Surakarta.

Jumlah sekolah Mambaul Ulum di kabupaten ada 7 buah, yaitu: Klaten, Sragen, Boyolali,Wonogiri, Surakarta, Kartasura, dan Sukoharjo. Sekolah berbasis agama Islam ini semakin banyak dan berkembang setelah berdirinya Muhammadiyah tahun 1912. Susuhunan PB X berharap para lulusan Mambaul Ulum merupakan para ulama yang dapat menyebarkan Islam dan pengajaran yang benar tentang ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement