RETIZEN -- Penulis: Arum Mujahidah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
Apa jadinya jika visualisasi pendidikan dipenuhi dengan sikap amoral dan tak beradab? Tentu perlu diluruskan. Inilah yang tergambar dalam sinetron dengan judul “Dari Jendela SMP”.
Sinetron yang ditayangkan di SCTV mulai pukul 18.25 ini bertemakan kisah asmara anak SMP. Para pemainnya juga para deretan artis-artis muda.
Baru beberapa episode tayang, sinetron yang diadopsi dari novel karya Mira W ini mendapatkan sorotan publik. Publik menilai dalam sinetron ini kenthal sekali dengan pesan amoral.
Pasalnya, kisah asmara yang diangkat dalam sinetron ini justru mengarahkan penontonnya menuju pergauan bebas. Adegan-adegan serta dialog di dalamnya tidak seharusnya dilakukan oleh anak berusia dini, apalagi menyandang status anak yang belajar di lembaga pendidikan Sekolah Menengah Pertama.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun memberikan sanksi teguran tertulis untuk sinetron yang tayang perdana pada 2 Juni 2020 tersebut. Dalam surat teguran yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, Rabu (8/7/2020), mengatakan bahwa sinetron tersebut mengandung cerita tentang hubungan asmara dua pelajar SMP.
Beliau menilai, dalam hubungannya digambarkan adegan dan dialog tentang kehamilan diluar nikah, rencana pernikahan dini, serta perawatan bayi setelah melahirkan tanpa menegaskan pendidikan reproduksi.
“Ceritanya memberikan contoh yang tidak baik terkait pacaran di sekolahan, perbincangan kehamilan diusia yang sangat muda tanpa ada klarifikasi-klarifikasi yang menegaskan tentang kehamilan tersebut, “ Ucap Agung dikutip dari Instagram KPI, kamis (9/2/2020).
Baik, marilah sejenak kita tengok garis besar sinetron tersebut agar lebih jelas dalam memberikan pandangan. Kenyataanya, dalam sinetron yang mengambil jam tayang sehabis maghrib ini memang mengisahkan tentang pergaulan bebas antar dua siswa SMP (Joko dan wulan).
Dikisahkan kedua remaja tersebut saling jatuh cinta sampai akhirnya berhubungan badan diluar nikah, dan akhirnya hamil. Mengetahui hal tersebut, pihak keluarga marah. Akan tetapi, justru kedua siswa melarikan diri untuk kawin lari.
Anehnya, dalam kisah tersebut, sang pelaku pergaulan bebas (baca: zina) justru digambarkan sebagai orang yang berkarakter baik, lurus, dan seakan menjadi pihak yang terdhzolimi.
Lebih tragisnya lagi, sang pelaku tidak merasa berdosa sama sekali dengan perbuatan hina yang dilakukan. Hal ini seakan-seakan menjadi pembenaran jika cinta harus gaul bebas, gaul bebas karena cinta apa salahnya.
Bayangkan, jika sinetron seperti menjadi santapan harian anak-anak kita. Apa jadinya? Pemikiran mereka akan ter- install dengan informasi yang salah kaprah.
Pemahaman mereka akan merekam bahwa mencintai lawan jenis dalam usia sekolah yang diaplikasikan dengan pacaran bahkan zina, boleh-boleh saja.
Memadu cinta yang melebihi batas bagi anak sekolah tingkat pertama adalah wajar dan mesti dimaklumi. Duh, disinilah bejatnya pesan dari tayangan ini.
Melalui sinetron ini, anak-anak kita akan tereduksi akhlaknya. Bagaimana tidak, ketika mereka menonton dengan sepenuh hati dan tanpa sadar akan teradopsi dalam pemikiran dan perilakunya.
Sebagai contoh, penulis masih ingat, ada salah seorang remaja (sepupu penulis sendiri) dengan bangga menjadikan foto-foto dua pemain inti sinetron ini yang sedang bermesraan dijadikan sebagai story Whatsapp.
Tentu ini menunjukkan pembenaran akan adegan yang dilakuan dalam sinteron tersebut. Jika demikian, bisa jadi adengan-adegan yang telah ditonton akan ditiru dalam kehidupan sehari-hari, ngeri.
Angka pergaulan bebas generasi Indonesia belakangan ini sudah cukup tinggi. Melansir m.republikasi.co.id, Jum’at 20 September 2019, Laporan KPAI dari survei yang dilakukannya tahun 2007 di 12 kota besar di Indonesia tentang perilaku seksual remaja sungguh sangat mengerikan. Hasilnya, dari lebih 4.500 remaja yang di survei, 97 persen di antaranya mengaku pernah menonton film porno.
Sebanyak 93,7 persen remaja sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas mengaku pernah berciuman serta happy petting alias bercumbu berat dan oral seks. Yang lebih menyedihkan lagi, 62,7 persen remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi.
Bahkan, 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi. Data ini dipublikasikan pada tahun 2007, 12 tahun yang lalu. Lantas bagaimana dengan kondisi hari ini?
Sepanjang 2015, Dinas Kesehatan DIY mencatat ada 1.078 remaja usia sekolah di Yogyakarta yang melakukan persalinan. Dari jumlah itu, 976 diantaranya hamil di luar pernikahan.
Data Unicef pada tahun 2016 lalu juga menunjukkan bahwa kekerasan kepada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50 persen.
Menurut peneliti pusat studi kependudukan dan kebijakan (PSKK) UGM, tingkat kenakalan remaja kenakalan remaja yang hamil dan melakukan upaya aborsi mencapai 58 persen.
Tak hanya itu, berbagai penyimpanan remaja, seperti narkoba, miras dan berbagai hal lainnya menjadi penghancur generasi bangsa hari ini.
Data-data tersebut di atas hanya sebagian kecil dari data yang ada diberbagai provinsi dan kabupaten di Indonesia serta terjadi beberapa tahun lalu. Bisa jadi, tahun ini data yang ada melebihi apa yang kita duga.
Bahkan baru-baru ini kita juga dikagetkan dengan puluhan anak usia SMP tengah berpesta seks di sebuah hotel. Tribunnews.com, Jum'at 10 Juli 2020 memberitakan bahwa sebanyak 37 pasangan anak di bawah umur diduga menggelar pesta seks di kamar hotel. Mereka terjaring razia di hotel saat lagi asyik bercumbu.
Selain pelaku, juga diamankan barang bukti sekotak kondom dan Obat Kuat bahkan ada yang menenggak minuman keras. Penangkapan puluhan ABG itu dilakukan tim gabungan TNI-Polri bersama pemerintah Kecamatan Pasar Kota Jambi.
Tidakkah kita gelisah dan ngeri melihat fakta ini? Bukankah ini bukti akan begitu merosotnya akhlak generasi. Sekarang ditambah lagi dengan tayangan pemuja syahwat seperti ini.
Harusnya dalam kondisi pandemi saat ini, kita tahu anak-anak banyak menghabiskan waktunya di rumah. Waktu mereka banyak dihabiskan dengan berselancar didunia teknologi,entah itu melalui internet ataupun televisi.
Jika justru tayangan televisi yang berbau liberal ini yang disuguhkan kepada anak-anak kita. Mau dibawa kemana moral mereka ?
Sudah, cukuplah untuk mereduksi moral generasi melalui tayangan-tayangan yang tak bermutu. Sejauh ini, kita bisa menghitung berapa tayangan yang memuat unsur mendidik di layar televisi, hanya hitungan jari. Sebagian besar justru bermuatan liberal dan hanya membawa unsur kesenangan semata.
Yakinlah, Hadirnya tanyangan seperti ini hanya akan merusak moral generasi. Hal ini karena Berbagai pesan amoral dapat kita temukan didalam kisah ini. Mulai pergaulan bebas, tidak patuh pada kedua orang tua, melanggar aturan agama, melanggar aturan sekolah, dan melanggar norma di masyarakat. Lengkap sudah, moral generasi yang seharusnya dibangun sepenuhnya dari semua kompenen bidang informasi, nyatanya masih senantiasa direduksi karena tayangan yang tak mendidik.
Tayangan yang syarat dengan adegan amoral seharusnya tak perlu menjadi bagian yang harus dipublikasikan kepada masyarakat. Apalagi, tayangan tersebut bersetting dilembaga pendidikan. Tentu secara tidak langsung hal ini mencoreng visualisasi pendidikan iu sendiri. Lembaga pendidikan yang seharusnya dijadikan tempat sebagai penyampai pesan luhur telah dikotori oleh hal yang tak sepantasnya.
Komisi Penyiaran Indonesia seharusnya juga harus semakin sigap dan waspada. Penyaringan terhadap tayangan yang akan disodorkan pada masyarakat harus lebih diteliti. Tidak hanya kali ini, tetapi semua konten-konten negatif harus benar-enar disterilkan dari media.
Jadikan media sebagai wasilah penyebar informasi positif bagi masyarakat. Sehingga terciptalah pemikiran dan pemahaman yang harmonis dimasyarakat, terutama generasi.
Lembaga penyiaran juga tak seharusnya hanya mengerja ratting semata. Ada banyak PR dan tanggung jawab yang dipikul oleh media.
Karena media turut serta mencetak pola pikir dan pemahaman masyarakat. Jangan sampai media menjadi corong perusak moral generasi dengan tayangan-tayangan yang menyalahi etika.
Tahukah kita, bahwa tegak dan kokohnya suatu bangsa sangat tergantung pada generasi mudanya. Hancurnya generasi muda menjadi awal runtuh dan hancurnya sebuah negara.
Beradab atau tidaknya suatu bangsa dapat dilihat dari perilaku dan moralitas pemuda nya. Semakin buruk adab dan perilakunya maka akan semakin hancur bangsa dan negaranya.
Maka, keberadaan media sebagai salah satu komponen pencerdas bangsa seharusnya mampu membangun opini masarakat ke arah positif. Hal ini bisa dilakukan jika dilakukan dengan standar yang benar. Ya, standar benar dan salah itu tidak lain ialah standar Sang Pencipta Alam.
Oleh karenanya, mengolah media tidak hanya mengejar materi semata tetapi lebih dari itu, sebagai jalan menyampaikan kebaikan dan kebenaran pada orang lain, alangkah indahnya.