RETIZEN -- Oleh Jamil Azzaini*
Dunia pembelajaran telah berubah. Dulu, ilmu diperoleh dengan cara one to many, artinya ilmu dari satu guru diberikan kepada banyak murid.
Sekarang sudah menjadi many to many, artinya ilmu diperoleh dari banyak guru dan diberikan kepada banyak orang.
Semua orang sekarang adalah murid sekaligus guru. Termasuk anak pun bisa menjadi guru bagi orang tuanya.
Saya pernah mendapat ilmu dari anak pertama saya, Nadhira, yang sangat mempengaruhi hidup saya hingga saat ini.
Ketika saya sangat sibuk berbisnis dan berbagi inspirasi di berbagai perusahaan, keliling ke berbagai tempat baik di Indonesia maupun mancanegara, anak saya mengajak bicara.
Dia membuka percakapan “bapak sekarang sudah bukan milik kami, bapak milik masyarakat. Its oke, no problem. Saya hanya memohon kepada bapak untuk tidak menjadi lilin, mampu menerangi dan menginspirasi banyak orang namun keluarga sendiri musnah terbakar.”
Nasihat singkat itu telah membuat saya saat ini cenderung menjadi family man. Senang berkumpul dan bersama keluarga serta memprioritaskan acara keluarga dibandingkan acara yang lainnya.
Anak ketiga saya, Izzan, juga pernah membuka cakrawala saya tentang makna sudut pandang. Mengapa orang tua dan anak terkadang tidak sependapat? Karena sudut pandang yang berbeda. Padahal sesungguhnya semuanya benar.
Izzan mencontohkan, “saat bapak duduk berhadapan dengan Izzan dan Izzan menuliskan angka 6 maka Izzan akan mengatakan ini angka 6, sementara bagi bapak itu angka 9.”
Bagi pandangan sebagian orang tua, membadingkan prestasi anak orang lain dengan anak sendiri mungkin dianggap memotivasi.
Namun bagi sudut pandang anak, itu adalah penyiksaan dan penderitaan. Sudut pandang yang berbeda ini bila tidak dipahami bisa saling melukai dan menyakiti.
Tiga hari lalu, anak nomor dua saya, Asa, menelpon saya. Setelah kami membicarakan perkembangan bisnis yang terjadi, Anak saya dengan sopan berkata “pak, maafkan ya.
Sekarang saya sedang mendalami makna sombong, dan setelah saya pelajari, ada beberapa ucapan bapak dalam training yang secara tidak disadari bisa memunculkan kesombongan.”
Kami pun membahas kalimat yang sering saya ucapkan dalam training, dan akhirnya saya pun menyadari bahwa memang ada ucapan yang bisa menjadikan saya sombong.
Sepertinya memang tidak terlihat kesombongannya, namun bisa dirasakan ada. Tipis memang. Saya pun berkomitmen Insha Allah, kalimat tersebut tidak lagi saya ucapkan dalam training.
Bersyukur memiliki anak yang punya keberanian mengingatkan kesalahan dan kekurangan saya. Mereka bukan hanya sekedar anak buat saya, mereka juga guru kehidupan bagi saya. Terima kasih anakku…
Eranya saat ini adalah many to many, mari kita belajar kepada many (banyak) orang, termasuk kepada anak sekalipun.
Salam Sukses Mulia
*Jamil Azzaini, CEO Kubik Leadership/Komisaris di Beberapa Perusahaan/ Trainer Leadership
Link: https://www.jamilazzaini.com/terima-kasih-anakku/