REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Budi Wiweko*
Konsep demand readiness level atau tingkat kebutuhan masyarakat dikenalkan Paun, se orang ilmuwan Prancis pada 2011. Beliau paham betul, tingkat maturitas teknologi membutuhkan perjalanan panjang agar menjadi produk inovasi yang dapat dimanfaatkan masyarakat.
Fenomena ini kerap menjadi penyebab utama sulitnya sebuah riset dan inovasi menjawab kebutuhan masyarakat. Diperlukan berbagai tahapan penelitian mulai dari tingkat dasar, translasional, serta terapan sampai akhirnya sebuah riset berlabuh pada tahapan produksi massal.
Upaya ini membutuhkan waktu tahunan bahkan mungkin puluhan tahun. Saat ini, kita begitu akrab dengan istilah tingkat kesiapterapan teknologi (technology readiness level = TRL), sebuah terminologi yang dikembangkan NASA, lembaga penerbangan antariksa Amerika Serikat, pada era 1970-an.
Demi menjaga kesempurnaan produksi pesawat ruang angkasa, NASA menetapkan tahapan satu sampai sembilan untuk mengukur maturitas sebuah teknologi mulai dari desain, prototipe, uji coba, dan peluncuran produk dalam skala besar. Lebih dari 20 tahun, konsep TRL ini mengawal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Kelemahan utama pengembangan teknologi berbasis TRL adalah perbedaan cara pandang dan gagasan antara peneliti dan industri.
Acapkali minat dan keahlian ilmuwan atau pakar dinilai tidak mampu menerjemahkan kebutuhan pasar sehingga banyak hasil riset dan inovasi yang berhenti pada skala prototipe saja. Di samping itu, investasi yang dibutuhkan pun sangat besar.
Tak hanya itu, perlu waktu yang sangat lama untuk mengawali semua riset dari tahap dasar atau laboratorium. Bagi negara kita, tentu hal ini menjadi sebuah tantangan yang harus segera dipecahkan demi tegaknya kemandirian dan ketahanan di bidang kesehatan.