Kamis 16 Jul 2020 22:10 WIB

ISI Denpasar Padukan Kuliah Daring dan Konvensional

ISI padukan sistem perkuliahan daring dan tatap muka di tengah pandemi.

Seorang mahasiswa mengikuti kuliah secara daring menggunakan aplikasi.
Foto: ANTARA/Seno
Seorang mahasiswa mengikuti kuliah secara daring menggunakan aplikasi.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Institut Seni Indonesia Denpasar berencana memadukan sistem perkuliahan daring dan tatap muka (konvensional) di tengah pandemi Covid-19. Langkah itu disebut untuk menyempurnakan sistem perkuliahan dari satu-satunya kampus seni "pelat merah" di wilayah Bali dan Nusa Tenggara itu.

"Semester depan, kami akan berencana menata itu (perkuliahan) dengan baik, kami kombinasikan antara daring dan pertemuan fisik, sehingga benar-benar bisa diatasi suasana Covid-19 ini. Seberapa kita berani bertemu dengan fisik, seberapa secara daring. Atau yang mana bisa dilakukan daring dan yang mana diperlukan assessment lapangan," kata Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni ISI Denpasar Prof Dr Drs I Nyoman Artayasa, MKes, di Denpasar, Kamis (16/7).

Menurut Prof Artayasa, sejak diberlakukannya status darurat Covid-19 di dunia pendidikan mulai pertengahan Maret 2020, pimpinan ISI Denpasar telah langsung merespon dengan menyiapkan perkuliahan secara online atau dalam jaringan (daring).

"Begitu ada instruksi dari pusat, kami langsung koordinasi dengan bagian IT di kampus. Semua dosen sudah punya email, kami manfaatkan perkuliahan dengan aplikasi google clasroom, termasuk bimbingan proposal skripsi dan tesis," ujarnya didampingi Humas I Gede Eko Jaya Utama, SE, MM itu.

Mengingat hingga saat ini pemerintah belum mengizinkan perguruan tinggi menggelar perkuliahan tatap muka langsung (konvensional), Artayasa mengaku akan menyempurnakan perkuliahan daring, berdasarkan hasil evaluasi sebelumnya.

Dalam memadukan perkuliahan daring dengan tatap muka langsung, lanjut Prof Artayasa, tentunya disesuaikan dengan mata kuliah atau ujian apa yang bisa di-daring-kan, dan mana yang harus digelar langsung.

"Pandemi ini secara tidak langsung memaksa civitas akademika menguasai teknologi informasi yang menjadi keniscayaan menghadapi era revolusi industri 4.0," katanya.

Praktik seni, ujar Prof Artayasa, juga bisa dilakukan secara daring dengan merekam proses dari awal penciptaan kemudian diserahkan pada dosen. Kalau ada yang belum, kemudian dilakukan di kampus.

"Seperti praktik pedalangan dilakukan di kampus dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan pencegahan Covid-19. Intinya kami selektif, tidak seperti dulu sebebas kita melihat kemampuan mahasiswa

Di sisi lain mengenai riak-riak protes mahasiswa ISI Denpasar yang menuntut bantuan kuota internet beberapa waktu lalu, Artayasa mengaku bisa memakluminya karena adanya 'kegagapan' dari pemerintah pusat dan internal kampus sebagai eksekutor. Namun ia menegaskan sudah berupaya semaksimal mungkin membantu mahasiswa.

Sejumlah mahasiswa ada yang mencari informasi tentang bantuan kuota internet gratis ke kampus-kampus ISI di luar Bali. "Ada mahasiswa yang bilang di ISI Yogyakarta sudah memberikan kuota internet gratis ke mahasiswanya. Setelah kita cek ternyata belum. Jadi persoalan kita secara nasional sama," ujarnya.

Pada prinsipnya, lanjut Prof Artayasa, ISI Denpasar ingin bekerja bersih. Apalagi menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), ada prosedur ketat yang harus dilewati, tidak bisa terburu. Ia juga meminta mahasiswanya tidak membandingkan bantuan kuota internet dengan perguruan tinggi swasta yang jelas-jelas beda manajemen.

Ia memastikan baik pemerintah daerah dan pusat telah berupaya maksimal membantu mahasiswa di perguruan tinggi negeri maupun swasta agar operasional kampus tetap berjalan. Salah satu buktinya adalah pemerintah telah merelaksasi biaya UKT dan membantu biaya Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP).

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement