REPUBLIKA.CO.ID, SACRAMENTO -- Laporan mengenai cedera paru mematikan akibat rokok elektrik mendominasi berita setahun silam. Kini, berita itu tergeser dengan infeksi virus corona (Covid-19).
Di lain sisi, cedera paru masih terus membuat korban berjatuhan. Pejabat federal dan petugas kesehatan di Kalifornia, Amerika Serikat, mengingatkan untuk tetap mewaspadainya.
Penyakit yang diistilahkan EVALI (E-cigarette or vaping product use-associated lung injury) itu tak boleh disepelekan. Departemen Kesehatan Publik Kalifornia di bawah Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyampaikan laporan terbaru terkait kasus tersebut.
Terdapat delapan kasus EVALI di negara bagian Kalifornia sepanjang April 2020. Para pasien dilarikan ke rumah sakit empat hari setelah mengalami gejala.
Usia rata-rata mereka adalah 17 tahun, dan enam di antaranya mengisap bahan psikoaktif dalam ganja (THC) di vape. Gejala EVALI disebut dapat menyerupai infeksi virus corona tipe baru. Beberapa di antaranya termasuk napas memendek, demam, menggigil, batuk, muntah, diare, sakit kepala, pusing, detak jantung lebih cepat, serta nyeri dada.
Hanya saja, CDC berhenti melacak EVALI pada pertengahan Februari setelah puncaknya terjadi September 2019. Padahal, pada 18 Februari, terdapat lebih dari 2.800 orang di seluruh AS yang dirawat di rumah sakit dengan kerusakan paru-paru EVALI. Dari jumlah tersebut, CDC mencatat terdapat 68 pasien yang meninggal dunia.
Penelitian terhadap deretan kasus tersebut menunjukkan bahwa pemicu EVALI adalah zat aditif vitamin E asetat, yang kadang-kadang digunakan dalam vape. Studi lain memperkirakan bahwa satu dari 10 anak sekolah menengah menggunakan vape sebulan terakhir.
Temuan yang terbit secara daring di Journal of Adolescent Health tersebut menyebutkan bahwa penggunaan vape alias rokok elektrik rata-rata sebanyak 60 persen di sekolah-sekolah. Para pakar tentu tidak setuju dengan hal tersebut.
Dr Len Horovitz, seorang ahli paru di Lenox Hill Hospital di New York City, mencatat bahwa pasien EVALI juga dapat mengidap Covid-19. Belum jelas apakah vape meningkatkan kerentanan terhadap Covid-19, tapi jelas meningkatkan risiko komplikasinya.
"Tidak pernah ada tempat untuk vape. Hanya karena legal, bukan berarti tidak apa-apa (menggunakannya)," kata Horovitz, dikutip dari laman Health 24, Jumat (17/7).
Dokter perawatan paru di Philadelphia, Jamie Garfield, setuju dengan pendapat Horovitz. Dia menyayangkan para remaja yang tidak tergerak untuk berhenti menggunakannya meski dunia ada di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Sementara itu, ketika prevalensi penyakit Covid-19 benar-benar tinggi, semuanya akan dianggap Covid, meskipun bisa saja penyakit lain dengan gejala mirip. Itu sebabnya selama Maret hingga April, EVALI cenderung tidak terdeteksi.
Garfield menjelaskan pentingnya pasien jujur mengenai penggunaan rokok elektrik. Kalaupun benar-benar terdorong menggunakan vape, pastikan memakai produk yang sudah dikemas dan bukan yang dimodifikasi dengan cara apapun.
Garfield menginformasikan sejumlah program yang bisa dijajal untuk membantu seseorang berhenti merokok atau menggunakan rokok elektrik. Segera hubungi dokter jika timbul gejala seperti batuk, sesak napas, dan demam.
"Menggunakan vape sama sekali bukan alternatif yang aman dari merokok. Apapun yang Anda masukkan ke dalam paru-paru selain udara segar bisa meningkatkan risiko cedera paru," ungkap juru bicara sukarelawan untuk American Lung Association itu.