REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu (Instagram: @kartaraharjaucu)
Atmosfer polemik Hagia Sophia yang disebut kembali menjadi masjid terasa sampai ke Indonesia. Banyak pihak yang tidak setuju Hagia Sophia diubah kembali menjadi masjid setelah sebelumnya berfungsi sebagai museum. Salah satu alasannya adalah dalam sejarah panjangnya, Hagia Sophia dulunya adalah sebuah gereja. Kabar Muhammad Al-Fatih membeli Hagia Sophia dari para pendeta pun jadi bahan diskusi yang legit. Nah, jika Hagia Sophia yang dulunya gereja kabarnya dijual para pendeta, di Jakarta ternyata ada bangunan gereja tua yang dijual kepada pemerintah untuk pelebaran jalan. Gereja itu bernama Gereja Armenia.
Armenia dulunya adalah bagian dari Uni Soviet dan hanya berpenduduk empat juta jiwa. Negara yang kini berubah menjadi Republik Armenia itu terletak di antara Laut Hitam dan Laut Kaspi di Eropa Timur. Sejak abad ke-17, ternyata ada orang Armenia yang merantau ke Hindia Belanda. Tujuan awalnya mereka berlayar ke Hindia Belanda adalah berdagang.
Kedatangan orang-orang Armenia ke Hindia Belanda pada abad ke-17 tak lepas dari diusirnya orang-orang Armenia dari Persia oleh penguasa pengganti Shah Abbas. Di masa Shah Abbas, orang-orang Armenia yang terampil menjadi anak emas karena diberikan wewenang berdagang sutera. Eropa menerima produksi kain sutera Persia yang dikerjakan orang-orang Armenia. Mereka lebih diterima Eropa karena beragama Kristen.
Koloni Armenia yang ditindas di akhir abad ke-17 terpaksa melarikan diri ke sejumlah negara, seperti Venesia, Rusia, China, Alexandria Mesir, India, termasuk ke Batavia.
Warga Armenia sukses bertahan hidup di Hindia Belanda karena pintar berdagang. Mereka bahkan dilaporkan merantau hingga ke Maluku dan Indonesia bagian timur lainnya dengan berdagang rempah-rempah.
Letak geografis Armenia yang berada di Asia-Eropa membuat perawakan mulai dari kulit hingga bentuk wajah mereka hampir sama dengan orang-orang Eropa. Termasuk karena kesamaan agama, Kristen. Karena kesamaan itu pula, pada 31 Maret 1747 orang-orang Armenia mendapatkan status sosial dan perlakuan yang sama dengan warga Eropa lainnya dari Pemerintah Hindia Belanda.
Pada abad ke-18 sebenarnya populasi orang Armenia di Batavia cukup banyak. Karena itu pada 1831, Jacob Arathoon, seorang pengusaha Armenia membangun tempat pemujaan bagi orang Armenia, berupa sebuah kapel terbuat dari kayu. Tempat itu diberi nama St Hripsime yang juga merupakan tempat pertemuan para Armenia.
Namun 10 tahun tepatnya pada 1841, kebakaran hebat menghanguskan bangunan tersebut. Sebelum meninggal dunia pada 19 Juni 1844, Jacob membiayai perbaikan bangunan. Pada 1852 di atas lahan gereja yang lama, dibangunlah gereja permanen yang dananya dikumpulkan dari para warganya sendiri. Gedung gereja itu pun selesai seluruhnya pada 1857.