Sabtu 18 Jul 2020 19:53 WIB

Cerita Warga Violet Garden Bekasi Cari Hak Sertifikatnya

Sejak 2015, Warga Violet Garden sudah melapor ke Polda Metro Jaya

Unjuk rasa warga Violet Garden Bekasi, Kranji, Bekasi Barat menuntut sertifikat hak rumahnya
Foto: Awal Bekasi
Unjuk rasa warga Violet Garden Bekasi, Kranji, Bekasi Barat menuntut sertifikat hak rumahnya

Jikalau kawan-kawan masih berpikir beli rumah A bakal dapat A, kepoin lagi kisah kami. Jangan sampai nasib kami menimpa orang lain karena minimnya informasi sebelum membeli properti, terutama dengan sistem KPR. 

Saya mau cerita kisah roman Perumahan Violet Garden Bekasi. Kebetulan Selasa kemarin (22/6) kami baru saja mengikuti sidang ke-36 di PN Jakarta Pusat. Kalau dihitung dengan proses non-litigasi sejak 2015 sudah puluhan kali kami berhadapan dgn berbagai pihak, termasuk dengan walikota dan anggota DPRD Kota Bekasi. Lelah iya, makanya orang lain boleh ambil pelajaran dari kasus kami.

Sekedar kilas balik ke Mei 2015 ketika suatu hari lawyer PT BII (sekarang Maybank) mendatangi Ketua RW hendak menyita 204 unit rumah Violet karena kredit macet developer. For your info, warga membayar cicilan KPR ke BTN dan BRI (dua entitas bank negara yg modalnya dari uang rakyat) sebagaimana perjanjian waktu akad kredit, mengapa tiba-tiba bank asing berurusan dengan kami. Usut punya usut, rupanya begini kelakuan developer sejak 2010.

Tahun 2010 NK selesai memasarkan Violet Garden dan sold out, dia melakukan kerjasama kredit (PKS) dengan dua bank BUMN dgn jaminan sertifikat asli masih gelondongan (5 ha), janjinya akan diserahkan ke bank KPR bila sudah pecah per unit (menurut pengakuan bagian kredit bank KPR tadi). Juli 2011 terbit sertifikat pecahan (357 unit), tapi oleh developer alih-alih diserahkan ke bank-bank KPR tadi, malah diagunkan ke Bank Bumiputera dgn nilai kredit -+ 52 miliar.

2014 developer mengalihkan agunan dari Bumiputera ke BII (kemudian hari diakuisisi Maybank, bank asal Malaysia) dgn nilai perjanjian sekitar Rp 33 miliar (jaminan 204 sertifikat warga). 

Artinya terdapat sisa kurang lebih 153 unit sertifikat yg dipegang developer dimana ini dijadikan ladang pungutan liar kepada konsumen apabila ingin menebus sertifikatnya baik yg beli secara cash maupun KPR. Untuk bisa tanda tangan AJB, konsumen diminta tagihan-tagihan yg tidak disebut pada PPJB semisal PPN, bea administrasi, denda cicilan uang muka, dan lain-lain yg tidak masuk akal yg nilainya mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Pengakuan warga yang sudah selesai sertifikatnya ada yg kena Rp 40 juta, Rp 80 juta,  Rp 120 juta, hingga Rp 260 juta.

Selanjutnya kisah drama pertarungan warga dengan developer dan bank-bank di atas masih berlangsung hingga Selasa (22/6) kemarin di PN Jakarta Pusat. Warga Violet sejak 2015 memang melakukan gugatan class action melalui Polda Metro (kasus pidana) dan PN Jakarta Pusat (perdata).  

Dari proses tersebut, beberapa sertifikat dapat diamankan ke pihak yang berhak. Untuk itu kami mengapresiasi pihak-pihak yang turut membantu perjuangan warga baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tim Lawyer, BPKN, Polri (meski kasus pidananya menggantung kuna tahun), aparat pemerintah lain, wartawan, kawans medsos, dan sebagainya. Liputan-liputan media mainstream dan online juga turut menekan pihak-pihak yang digugat untuk melepas sertifikat dari Maybank dan developer (bertahap: 10 unit, 33 unit, 40 unit).

Maaf kalau ceritanya jadi panjang meski tidak sepanjang sidang-sidang yang masih akan kami lewati, begitu juga tekanan psikis dari gerakan premanisme. Wartawan pun sekarang mulai ditekan pihak tertentu ketika menurunkan liputan kasus kami.

Semoga majelis hakim tetap mengedepankan nuraninya dan mendukung Program Perumahan Rakyat Presiden Jokowi dengan memberikan kepastian hukum kepada konsumen. 

Apalagi dengan terbitnya PP No. 25/2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), rakyat sudah susah payah dipotong 3 persen gajinya tiap bulan, tahu-tahu rumah yang mereka beli zonk alias bodong.

Mirip beli kendaraan, tapi BPKB entah dimana. Teringat mendiang Pak Erman salah satu warga Violet yang hingga akhir hayatnya belum pegang sertifikat. Beberapa hari sebelum meninggal dunia, beliau yg terbaring sakit sempat menanyakan kepada kami yg menjenguk, "Proses sertifikat rumah kita bagaimana, Pak?" 

Beliau adalah salah satu konsumen KPR BRI yang sudah lunas, namun pihak bank KPR tidak mau bertanggung jawab. Belum termasuk ratusan konsumen perumahan pada developer yang sama: Yellow Garden Tangerang, sejak 2012 malah belum dibangun rumahnya.

Menurut data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pada Webinar Perlindungan Konsumen Sektor Perumahan pada Rabu, 24/6, sejak 2017 s.d. Februari 2020 terdapat 2.969 pengaduan dari konsumen dengan 2.346 (79,02 persen) adalah pengaduan sektor perumahan. Ngeriiiii...Bangeeet khan. 

Negara harus hadir. Titik.

Pengirim: Awal, Bekasi

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement