Ahad 19 Jul 2020 12:22 WIB

Bahasa Puisi Sapardi Sederhana, namun Maknanya Amat Dalam

Isbedy Stiawan: Sapardi adalah pribadi yang sederhana dan familiar.

Sapardi Djoko Damono
Foto: Republika/Shelbi Asrianti
Sapardi Djoko Damono

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG – Penyair dan cerpenis nasional yang tinggal di Bandarlampung, Isbedy Stiawan ZS punya kesan mendalam terhadap sastrawan Indonesia, Sapardi Djoko Damono, yang dikabarkan wafat hari ini. 

“Sapardi Djoko Damono (SDD)  adalah pribadi yang sederhana dan familiar. Ia tak memosisikan dirinya senior di hadapan sastrawan yang jauh usia dan jam terbang kepenyairannya,” kata Isbedy dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Isbedy mengaku pernah berada dalam  satu acara seminar di FKIP Universitas Lampung, dua tahun lalu. “Dan ia tetap mau mendengar nara sumber lain. Bahkan, ia segera akrab saat kita kenalkan diri, dan ia sambut: ‘O ya Is, saya tahu dengan Anda,  juga baca puisi-puisi anda’,” ujarnya.

Menurut Isbedy, bahasa puisi Sapardi sederhana, namun menyimpan makna amat dalam.  “Kesederhanaan itu, juga seperti bahasa dalam puisi-puisinya. Tetapi tersimpan makna yang amat dalam,” tuturnya. 

Isbedy mengungkapkan, ketika mendapat kabar SDD meninggal dunia, selain kebaikan-kebaikannya yang terkenang, juga sejumlah puisinya seperti Perahu Kertas, Hujan Bulan Juni, dan Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana. “Juga,  puisi yang sangat menyentuh karena fururistik, menurut saya adalah Pada Suatu Hari Nanti,” paparnya.

Pada Suatu Hari Nanti

Sapardi Djoko Damono

 

pada suatu hari nanti

jasadku tak akan ada lagi

tapi dalam bait-bait sajak ini

kau tak akan kurelakan sendiri

 

pada suatu hari nanti

suaraku tak terdengar lagi

tapi di antara larik-larik sajak ini

kau akan tetap kusiasati

 

pada suatu hari nanti

impianku pun tak dikenal lagi

namun di sela-sela huruf sajak ini

kau tak akan letih-letihnya kucari

 

Sastrawan Indonesia, Prof Sapardi Djoko Damono dikabarkan meninggal dunia, Ahad (19/7) pukul 09.17 WIB. Sapardi meninggal dunia di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 itu meninggalkan setumpuk karya, dari mulai sajak, puisi, hingga novel. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement