REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Denny JA
Ketika mendengar wafatnya penyair besar, Sapardi Djoko Damono, pikiran saya melayang pada kisah sekitar 40 tahun lalu. Tahun 80an.
Itu saat saya membaca novel Lelaki Tua dan Laut, terjemahan karya Ernest Hemingway. Sapardi Djoko Damono yang menerjemahkannya.
“Manusia dapat dihancurkan. Tapi ia tidak dikalahkan.”
Ini kutipan terkenal dari novel Ernest Hemingway tentang novel itu. Ia menulis novel The Old Man and The Sea, tahun 1952.
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia 31 tahun kemudian. Lelaki Tua dan Laut, terbit tahun 1983.
Tahun 1982, usia saya baru 19 tahun. Berulang-ulang saya membaca novel aslinya dalam bahasa Inggris: the Old Man and The Sea.
Saya mendengar itu novel yang sangat bagus. Tapi bahasa Inggris saya masih buruk.
Berulang saya membacanya. Tapi tetap tak mengerti isi novelnya. Apalagi simbol dan makna dibalik kisah itu.
Akhirnya di tahun 1983, saya membaca terjemahan bahasa Indonesia. Teringat masa itu. Lama saya merenung dengan kisah nelayan tua dari Kuba, bernama Santiago.
Kisah itu ikut menumbuhkan spirit perjuangan. Ini era ketika saya intens sekali mencari identitas diri.
Santiago, nelayan tua, di novel itu termenung. Ia boleh dihancurkan oleh nasib buruk. Tapi ia tak boleh dikalahkan.
Sudah hari ke-84 Ia melaut. Santiago tak kunjung mendapatkan ikan. Komunitasnya sudah bergunjing. Selesai sudah era Santiago sebagi nelayan.
Anak muda yang acap menemaninya melaut, Manolin, sudah diperingati Ayahnya.
Daripada, Manolin menemani lelaki tua itu, yang tak lagi berdaya, sebaiknya Manolin menemani nelayan lain, yang lebih sukses.
Hari itu, hari ke-85, Santiago bertekad. Ia tak boleh dikalahkan oleh nasib buruk.
Ia pun bertekad pergi ke laut paling jauh. Ia berniat membawa ikan, jika bisa, yang paling besar.
Datanglah momen itu. Santiago mendapatkan ikan besar. Tapi itu tak semudah yang ia bayangkan.
Dua hari dua malam, ia bertarung agar ikan itu menyerah. Yang terjadi, ikan itu malah menarik perahunya ke tengah laut, yang buas.
Akhirnya, ikan besar itu bisa Ia kalahkan. Tapi dalam perjalanan laut menuju rumah, begitu banyak ikan hiu. Satu persatu, ikan hiu itu bisa ia halau.
Di tengah malam, Santiago kelelahan. Ia tertidur lelap.
Ikan besar yang berhasil ia tangkap, yang ia seret di perahunya, habis dimakan ikan hiu. Hanya kerangka tulang yang bisa ia bawa pulang.
Betapa kaget Santiago. Susah payah ia mengalahkan Ikan. Sudah disiapkannya berita baik untuk penduduk. Kini ia hanya membawa tulang.
Nelayan tua itu pulang. Walau yang tersisa hanya kerangka tulang ikan, tapi penduduk tahu, itu ikan yang sangat besar. Penduduk memberi hormat padanya.
Santiago, lelaki tua itu, nelayan yang sudah melemah itu, menyadari. Fisiknya boleh menua.
Tapi tangkapan ikan besar itu, walau hanya tersisa tulang, menjadi bukti. Spiritnya masih sangat kuat. Ia tidak menyerah. Ia tidak kalah. Ia terus berjuang.
-000-
Itulah kali pertama saya mengenal sentuhan Sapardi Djoko Damono. Sapardi yang menerjemahkan novel itu menjadi enak dibaca. Indah. Mengalir. Gurih.
Nama Sapardi Djoko Damono mulai menetap di memori saya.
Saat itu, Sapardi sudah menjadi penyair terkenal. Buku puisinya Dukamu Abadi, terbit tahun 1969. Itu 12 tahun sebelum Sapardi menerjemahkan novel.
Sudah terbit pula tiga buku puisinya yang lain: Akuarium (1974), Mata Pisau (1974), serta Perahu Kertas (1983).
Tapi saya saat tak banyak membaca puisi Sapardi. Saya lebih senang fiksi yang banyak drama.
Pertemuan saya berikutnya dengan Sapardi di tahun 2012. Sekitar 30 tahun kemudian.
Ini pertemuan penting dalam hidup saya sebagai penulis puisi. Sekitar 3 bulan lamanya, saya intens berjumpa dengan Sapardi.
Saya sedang menjadi konsultan politik. Sudah 9 tahun saya tenggelam di dunia politik praktis dan riset opini publik. Saya juga mulai merintis usaha kecil-kecilan.
Sudah 9 tahun pula saya tak lagi menulis kolom di koran. Padahal dulu, saya penulis kolom yang yang produktif sekali.
Sudah 1.000 kolom saya tulis. Dan sudah pula sebagian kolom dibukukan menjadi sekitar 20 buku. Satu kumpulan kolom di satu koran menjadi satu buku.
Kerinduan saya menulis datang lagi. Tapi kali ini tidak esai, tidak kolom. Kepada teman teman dekat, saya katakan saya “hamil tua.” Saya ingin menulis lagi. Itu dunia lama yang mendarah daging.
Saya ingin menulis puisi. Kisah yang ingin saya ekspresikan kasus diskriminasi di Indonesia. Ia memfiksikan kisah sebenarnya.
Semacam historical fiction. Atau true story-fiction. Gabungan fakta dan fiksi. Kombinasi cerita dan berita.
Pola itu tak sesuai dengan puisi yang ada sekarang. Saya ingin puisi panjang seperti novel. Juga ada catatan kaki seperi makalah ilmiah. Ini kebutuhan kisah diskriminasi itu.
Draft lima puisi panjang sudah jadi. Saya belum tahu harus diberi nama apa puisi seperti ini. Layakkah? Saya tak ingin nanggung.
Usia saya di tahun 2012 hampir 49 tahun. Sudah terlalu tua jika hanya menulis puisi iseng-iseng. Terlambat pula jika saya sekedar menjadi follower dari apa yang ada.
Saya perlu seorang penyair senior untuk diskusi. Ingin saya tahu apa pendapatnya? Apa sarannya? Saya ingin Ia menjadi partner kritis namun juga konstruktif.
Sapardi Djoko Damono menjadi pilihan pertama. Itu karena di samping penyair, ia juga akademisi. Ia doktor di bidang sastra. Ia juga profesor ilmu sastra. Ia pernah menjadi dekan.
Ia pernah memimpin jurnal sastra. Ia juga pernah mengurus pusat dokumentasi sastra. Juga akademi Jakarta. Sapardi sosok sastrawan yang lengkap.
-000-
Datanglah momen itu. Saya lupa tepatnya. Entah akhir 2011, atau awal 2012.
Yang jelas, berbulan sebelum April 2012, karena buku puisi esai saya pertama, Atas Nama Cinta, terbit tahun 2012, bulan April.
Sapardi datang bertandang ke kantor saya. Saat itu, usianya 72 tahun. Saya merasa terhormat, Ia sendiri memilih ingin datang ke kantor.
Ia membawa beberapa jurnal puisi, terbitan bahasa Inggris: Poetry. Saya ingat kalimat pertamanya. Ia memanggil saya pak Denny. Saya juga memanggilnya Pak Supardi.
“Pak Denny, jurnal puisi ini untuk anda. Tahun ini tepat 100 tahun usia jurnal ini. Jika anda membaca Jurnal ini sejak kelahirannya hingga sekarang, anda akan terkesima. Sejarah perjalanan puisi dunia semua terekam dalam artikel di serial jurnal ini.”
Saya tak ingat kata-kata detailnya. Uraian di atas saya ambil secara bebas dari memori.
Ujar Sapardi lagi, “Saya merindukan terbit jurnal puisi seserius ini untuk Indonesia. Bagus jika satu ketika pak Denny tergerak untuk ikut mempublikasikannya.”
Kami pun terlibat dalam percakapan panjang soal kemungkinan bersama menerbitkan jurnal sejenis Poetry.
Lalu saya pun memulai maksud berdiskusi dengannya. Saya berikan draft cetak buku Atas Nama Cinta. Saya ingin, Sapardi membaca buku ini. Jika bisa, memberi pengantar.
Saya ceritakan juga. Saya perlu nama untuk jenis puisi ini. Apakah pak Sapardi punya nama yang cocok?
Sapardi berjanji membacanya. Apakah Ia bersedia memberi pengantar? Ujarnya, soal itu kita bicarakan kemudian. Ia ingin membacanya dulu.
Kembali Sapardi bersemangat bercerita soal Jurnal Poetry itu. Ia juga banyak bercerita kekecewaannya atas majalah puisi atau satra di Indonesia.
Sekitar 80 persen percakapan kami dalam jumpa tersebut, isinya saya mendengar Ia bercerita soal Jurnal Puisi.
-000-
Setelah pertemuan itu. Setelah Sapardi membaca draft buku puisi Atas Nama Cinta. Kami berjumpa lagi. Jika tak salah, kami berjumpa di Kafe saya, Pisa Kafe, di Menteng.
Di luar dugaan saya, Sapardi semangat sekali. Ia katakan, “Pak Denny membawa cara baru penulisan puisi. Catatan kaki di puisi ini istimewa.
Memang sudah banyak puisi dengan catatan kaki. Tapi ini catatan kaki yang berbeda. Ia berisi kumpulan data dan fakta.
Tak hanya cara penulisan. “Tapi isi puisi pak Denny pun berbeda.” Ia memuji saya membawa topik yang jarang dibicarakan dalam puisi Indonesia. Seperti Isu Ahmadiyah. Isu LGBT.
Sapardi menyatakan bersedia memberi pengantar. Semua yang ia katakan itu, Ia akan masukkan dalam pengantarnya.
Kamipun berdiskusi soal nama yang tepat untuk jenis puisi ini. Sapardi sempat menyebut: Puisi Naratif. Prosa Liris. Puisi Berita. Puisi Investigatif.
Saya tanyakan, bagaimana jika namanya Puisi Esai? Sapardi mengkerutkan kening. Ujarnya, memang sudah ada Foto Esai.
“Tapi tak apa pak Denny memberi nama Puisi Esai. Pak Denny yang merumuskan puisi ini. Ya Pak Denny juga yang berhak memberi nama,” ujar Sapardi.
Dalam kata pengantar buku saya itu, Sapardi juga menulis: “Gagasan dan karangan yang diberinya label Puisi Esai penting untuk dicatat dalam perkembangan puisi kita.”
“Saya kira ia tidak perlu risau apakah jenis puisi yang dipilihnya ini akan ditulis juga oleh
penyair lain kelak. Ia sudah menawarkan suatu cara penulisan baru, dan itu sudah lebih dari cukup.”
-000-
Terbitlah kemudian buku puisi esai itu. Respons dunia sastra mulai muncul. Terlebih lagi ketika terbit buku 33 Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam dunia Sastra Indonesia.
Buku itu diterbitkan PDS HB Jassin kerja sama dengan Gramedia. Tebalnya 700 halaman lebih.
Tim 8 dalam buku itu, ikut memilih saya sebagai salah satu penyair yang berpengaruh. Puisi esai yang saya perkenalkan, juga diikuti penulis lain. Terbit sudah saat itu lebih dari 20 buku puisi esai oleh penyair lain.
Sapardi termasuk penyair yang membela puisi esai di publik. Dalam wawancara tahun 2014, dua tahun setelah terbit buku puisi esai, Sapardi memperkuat apa yang Ia tulis di dalam pengantar.
Bahwa Ia (Sapardi) belum pernah melihat dalam sastra Indonesia, puisi dengan catatan kaki sebagaimana dalam puisi esai.
Soal buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, Sapardi termasuk santai saja menanggapinya. Ujarnya ini kan soal opini. Yang tak setuju, ya silahkan membuat opininya sendiri.
Soal bagus dan tak bagus itu relatif. Bagi Saya, ujar Sapardi, itu Novel Siti Nurbaya yang diagungkan orang, itu jelek sekali.
Juga novel Pramudya, yang bagus hanya Bukan Pasar Malam. Karena Ia masuk penjara, Pram menjadi pahlawan, itu gombal.