REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Cleveland Clinic, Amerika Serikat (AS) menemukan terjadinya peningkatan penyakit jantung terkait stres selama pandemi. Pertambahan jumlah terjadi signifikan pada pasien yang mengalami stres kardiomiopati, yang juga dikenal sebagai ‘broken heart syndrome’ atau sindrom patah hati.
Dilansir Healthline, Senin (20/7), stres kardiomiopati adalah kondisi jantung sementara yang disebabkan oleh situasi stres dan emosi ekstrem. Gejalanya mirip dengan serangan jantung, seperti nyeri dada dan sesak napas. Sebagai bagian dari studi baru, ahli jantung mengamati 258 pasien yang datang ke Cleveland Clinic dan Cleveland Clinic Akron General dengan sindrom koroner akut (ACS) antara 1 Maret dan 30 April.
Pasien-pasien ini dibandingkan dengan empat kelompok kontrol pasien dengan ACS sebelum pandemi. Penelitian ini menemukan peningkatan yang signifikan pada pasien yang didiagnosis dengan stres kardiomiopati, yaitu 7,8 persen dibandingkan dengan 1,7 persen pra-pandemi.
Mereka yang mengalami stres kardiomiopati juga harus tinggal di rumah sakit lebih lama. Menariknya, semua pasien yang didiagnosis dengan stres kardiomiopati dites negatif COVID-19.
“Stres kardiomiopati tidak secara langsung disebabkan oleh COVID-19, tetapi merupakan konsekuensi dari COVID-19 dan efek psikososial dan ekonominya," ujar Guy L. Mintz, direktur kesehatan jantung dan jantung. lipidologi di Rumah Sakit Jantung Sandra Atlas Bass Northwell Health di Manhasset, New York.
Dokter perlu mengambil 5 menit ekstra dan mengajukan pertanyaan kepada pasien mereka, mulai dari : ‘bagaimana perasaan Anda? Bagaimana keluarga Anda bertahan? Bolehkah saya membantu Anda?’.
Tiga pertanyaan tersebut sangat penting. Menurut Mintz, ini bisa mengubah hidup dan mencegah stres kardiomiopati pada banyak orang.
Sindrom jantung yang rusak bersifat sementara. Berita baiknya adalah bahwa stres kardiomiopati adalah sumber yang dapat dibalik dan dinilai bersifat tidak membahayakan.
Bahkan, studi baru menemukan bahwa pasien dengan stres kardiomiopati tidak memiliki perbedaan yang signifikan dalam kemungkinan kematian di antara kelompok. Sebagian besar dilaporkan pulih dalam hitungan hari atau pekan.
Cara terbaik untuk menjaga agar kardiomiopati stres tidak terjadi adalah dengan merawat peristiwa mental dan emosional. Brittany LeMonda, ahli saraf senior di Lenox Hill Hospital mengatakan orang-orang yang memiliki penyakit jantung berisiko lebih besar mengalami komplikasi dengan COVID-19.
“Jadi penting bagi kita untuk mendekati pandemi ini dengan cara yang menyehatkan jantung. idur nyenyak, makan dengan baik, dan mengurangi stres untuk mengurangi risiko penyakit jantung atau memperburuk kondisi yang sudah ada sebelumnya. Pada dasarnya, kita harus berada dalam posisi di mana kekebalan kita bisa sekuat mungkin,” jelas Lemonda.
Beberapa orang dapat mengurangi stres dengan cara keluar rumah, tentunya ini dapat dilakukan dengan syarat menggunakan masker dan menerapkan aturan jarak fisik yang berlaku selama pandemi COVID-19. Masing-masing orang mengendalikan stres dengan cara berbeda.
“Hal-hal seperti stres dan kecemasan menyebabkan kita terlibat dalam perilaku kesehatan yang tidak baik, seperti pola makan atau kurang olahraga. Bagaimana kita bereaksi terhadap stres dan kecemasan dapat menyebabkan kemungkinan yang lebih besar dari kondisinya,” kata LeMonda.
LeMonda merekomendasikan untuk memastikan tidur delapan jam setiap malam dan bangun pada waktu yang sama setiap hari. Ia juga menyarankan orang-orang untuk menonton film dan mengkonsumsi makanan enak.
"Semua hal yang bisa menyenangkan bagi kita dianjurkan untuk mengurangi stres dan merasa baik secara keseluruhan," tambah LeMonda.