REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Didin Hafidhuddin
Salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat ini terutama oleh kaum muslimin, adalah masalah kemiskinan dan kefakiran. Dan hal ini semakin besar akibat dari Pandemi Covid 19. Menurut data Suryahadi (April 2020) diproyeksikan jumlah orang miskin akan meningkat 12,37% atau sekitar 33,24 juta jiwa. Angka Pengangguran pun dari data Bapenas (2020) diprediksi akan bertambah 4,22 juta atau akan meningkat 7,8 hingga 8,5 dari total angkatan kerja (setara 6,88 juta jiwa).
Rasulullah SAW mengingatkan bahaya dari kemiskinan dan kefakiran (material dan spiritual) ini dalam sebuah hadits riwayat Anas bin Malik Radhiallahu’anhu bahwa beliau bersabda: “Hampir-hampir kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran”. Juga ungkapan beliau dalam sebuah do’a: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kefakiran”.
Sebagaimana diketahui bahwa penyebab utama kemiskinan itu antara lain sebagai berikut: Pertama, kultural (sikap dan gaya hidup, seperti malas dan gaya hidup konsumtif yang cenderung israaf). Kedua, struktural yaitu kebijakan yang tidak adil, yang tidak berpihak pada masyarakat yang lemah, misalnya dilindunginya (melalui undang-undang) sistim ekonomi kapitalis yang melahirkan kesenjangan. Menurut para ahli banyak undang-undang di negara kita yang tidak berpihak pada masyarakat lemah, dalam berbagai bidang kehidupan. Ketiga, Natural, akibat adanya musibah yang menyebabkan banyak orang miskin baru seperti pada masa masa tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu, dan pada masa pandemi covid 19 ini, sebagaimana kita rasakan sekarang. Keempat, perilaku korup yang terjadi di berbagai bidang kehidupan. Dalam sebuah penelitian (Gupta, Davoodi, dan Tiongson, 2000) disimpulkan bahwa korupsi memperburuk dan memperlambat layanan pada masyarakat, sehingga masyarakat miskin semakin bertambah banyak dan anggaran negara semakin tidak jelas penggunaan dan pemanfaatannya.
Solusi
Sebagai ajaran yang bersifat Syumuliyyah, Islam memberikan solusi dengan tiga Pilar Pembangunan Ekonomi (syariah) yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penguatan pemberdayaan ekonomi umat. Ketiga pilar ini secara implisit terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 275 sd 278, yaitu Sektor Riil, sektor moneter dan sektor Ziswaf. Ketiga pilar tersebut harus selalu diintegrasikan satu dengan yang lainnya.
Penelitian K.Ishaq (Irfan Syauqi Beik, 2012) menyatakan bahwa banyak negara yang jatuh miskin karena melakukan pendekatan pembangunan ekonomi tidak berdasarkan nilai-nilai agama yang dianut masyarakat dari bangsa dan negara tersebut. Karenanya pendekatan pembangunan ekonomi di negara kita harus sejalan dengan ekonomi syariah yang berlandaskan pada nilai-nilai yang bersifat universal sebagaimana di jelaskan dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits dan penjelasan-penjelasan para ulama dan para ahli lainnya.
Sektor Riel seperti Sektor perdagangan (al-Ba’i) sektor industri, dan yang lainnya. Jika melihat sejarah kegiatan ekonomi para sahabat Nabi saw, mereka banyak bergerak dibidang sektor riel ini, terutama perdagangan, seperti Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf dan lain lain. Allah SWT memuji kegiatan mereka seperti termaktub dalam QS. Annur [24] ayat 37, yang memadukan antara kesungguhan dalam melakukan kegiatan ekonomi di pasar-pasar dengan kegiatan ibadah secara berjamaah di masjid-masjid. Yang menarik dan yang harus kita pelajari adalah gaya hidup dari para pedagang dari generasi sahabat ini yang menjadikan keuntungan dari kegiatan dagangnya untuk sepenuhnya/sebagian besar dipergunakan untuk infaq atau shadaqah dalam menguatkan kehidupan umat, sekaligus kegiatan dakwah amar makruf nahyi munkar.
Di negara kita pun, kekuatan sektor ril ini terutama perdagangan pernah terwujud sejak gerakan perjuangan merebut kemerdekaan dengan berdirinya Sarikat Dagang Islam pada tahun 1905 sebagai organisasi modern pertama sebelum Budi Oetomo lahir. Yang menarik pada saat itu adalah Masjid Agung/Masjid Kaum yang berada di Kesultanan-Kesultanan selalu berdampingan dengan pasar. Ini bukti bahwa kaum muslimin saat itu, disamping ahli masjid juga adalah ahli perdagangan. Perpaduan kedua hal ini menyebabkan umat Islam pada saat itu memiliki kekuatan yang mengalahkan kekuatan penjajah.
Sektor moneter seperti Lembaga Keuangan Syari’ah, walaupun masih banyak kekurangan dan kelemahan, apalagi menghadapi dampak Covid 19, harus terus menerus mendapat dukungan dari pemerintah, apalagi dari kaum muslimin. Kaum muslimin harus memiliki keberpihakan yang kuat terhadap institusi keuangan syariah, sehingga diharapkan market sharenya akan semakin besar dari waktu ke waktu. Dan jika ada rencana pemerintah untuk menyatukan tiga bank besar syari’ah (merger) yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank Rakyat Indonesi Syariah (BRIS), dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS) pada akhir tahun sekarang (2020) atau awal tahun depan (2021), diharapkan bank syariah di Indonesia akan semakin kuat dan semakin dipercaya oleh umat.
Sektor Zakat, infak/shadaqah dan wakaf (ZISWAF) memiliki potensi yang sangat besar. Ini dibuktikan dengan besarnya potensi yang dimiliki umat Islam Indonesia yang perlu digali dengan penuh kesungguhan, dan dengan manajemen yang rapi oleh Amil Zakat (seperti BAZNAS dan LAZNAS) yang dipercaya ole umat. Peta potensi zakat di Indonesia menurut penelitian (Puskas BAZNAS, 2019) adalah sebagai berikut: a). Zakat perusahaan = 6,71 triliun/tahun, b). Zakat penghasilan = 139,07 triliun/tahun, c). Zakat pertanian = 19,79 triliun/tahun, d). Zakat peternakan = 9,51 triliun/tahun, dan e). Zakat tabungan/deposito = 58,76 triliun/tahun.
Adapun potensi wakat di Indonesi juga sangat besar, seperti tergambar dalam penelitian tersebut di atas, yaitu: a). Aset wakaf (bangunan, tanah) = 2000 triliun, dan b). Wakaf Uang = 188 triliun/tahun. Sementara realisasinya 400 milyar/tahun.
Strategi
Sejalan dengan potensi-potensi tersebut di atas, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis dalam rangka penguatan ekonomi umat, antara lain sebagai berikut:
Pertama, Melakukan sosialisasi dan edukasi pada umat tentang pentingnya membangun ekonomi (terutama ekonomi syariah) yang merupakan salah satu inti ajaran Islam; penguatan akhlak dalam kegiatan ekonomi serta menguatkan etos kerja dan etos usaha. Perhatikan QS. At-Taubah [9] ayat 105. Kedua, Penguatan kelembagaan ekonomi umat (LKS, BAZNAS, LAZNAS, Koperasi, dan lain-lain) seperti penguatan SDM, IT, Manajemen, dan lain-lain sehingga semakin berkembang dan semakin dipercaya umat. Ketiga, Sinergi antar berbagai simpul masyarakat dalam bentuk kemitraan strategis seperti UMKM dengan masjid, dengan lembaga ZISWAF, dengan lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren yang jumlahnya cukup banyak dan besar. Keempat, Menjadikan masjid disamping tempat berjamaah dalam ibadah juga berjamaah dalam mu’amalah. Jamaah masjid dijadikan produsen atau konsumen. Rasulullah SAW bersabda: “Kita adalah kaum yang bertaqwa, tidak pernah mengkonsumsi makanan kecuali dari makanan orang yang bertaqwa.”
Ini adalah membangun semangat berpihak kepada sesama kaum muslimin dalam bidang ekonomi, seperti juga dinyatakan dalam QS. An-Nisa’ [4] ayat 29. Di Malaysia sekarang sedang digerakkan proyek putaran ekosistem ekonomi Islam yang baru dengan tiga pendekan yaitu, SPEND (membeli dari penjual sesama muslim), UNITE (bersatu bersama menjadi anggota KoPPIM [Koperasi Persatuan Pengguna Islam Malaysia], dan FUND (melabur secara bulanan di dalam KoPPIM).
Kelima, Menguatkan peran amil zakat untuk menyalurkan dana zakatnya, disamping yang sifatnya konsumtif juga yang bersifat produktif, untuk kepentingan pemberdayaan ekonomi umat, seperti banyak dilakukan sekarang oleh lembaga zakat. Keenam, Mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk memberikan kemudahan, baik dalam aturan maupun bantuan permodalan pada UMKM atau pengusaha kecil atau mikro lainnya.
Jika hal ini dilaksanakan dengan manajemen yang baik dan penuh tanggungjawab, serta mendapatkan dukungan kuat dari berbagai elemen umat Islam, maka insya Allah akan terjadi penguatan ekonomi umat dalam berbagai pilarnya seperti tersebut di atas. Kemiskinan dan kefakiran, apalagi kemiskinan materi yang menyatu dengan kemiskinan rohani, bisa diatasi dengan sebaik-baiknya, atau paling tidak bisa diperkecil atau diminimalisir. Umat Islam harus kuat dalam kehidupan dunia untuk meraih kebahagiaan kehidupan sekarang (dunia) maupun kehidupan nanti (akhirat). Semoga.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab