Kamis 23 Jul 2020 06:48 WIB

NU dan Muhammadiyah: Kontroversi Organisasi Penggerak

Kontroversi organisasi penggerak kemendikbud.

Guru mengajar pada hari pertama sekolah tatap muka di Madrasah Aliyah Negeri 1 Aceh Barat, Aceh, Senin (20/7/2020). Guna mencegah penyebaran COVID-19, pihak sekolah membagi siswa menjadi dua kelompok, yakni kelompok pertama belajar di sekolah dan lainnya belajar di rumah. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Guru mengajar pada hari pertama sekolah tatap muka di Madrasah Aliyah Negeri 1 Aceh Barat, Aceh, Senin (20/7/2020). Guna mencegah penyebaran COVID-19, pihak sekolah membagi siswa menjadi dua kelompok, yakni kelompok pertama belajar di sekolah dan lainnya belajar di rumah. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sumarlan, Direktur Eksekutif Pegiat Pendidikan Indonesia

Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi sorotan publik, seiring dengan surat pemberitahuan hasil evaluasi proposal POP yang ditandatangani oleh Iwan Syahril, Direktur Direktorat Jendral Guru dan Tenaga Pendidikan (Dirjen GTK).

Awalnya, POP disambut baik oleh publik, sebagaimana tujuan programnya. Menurut peraturan Sekretaris Jendral Kemendikbud Nomor 3 tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis dan Nomor 4 Tentang Pedoman Organisasi Penggerak. POP bertujuan untuk meningkatkan kopetensi guru dan tenaga pendidik, dengan melibatkan peran serta organisasi kemasyarakatan (ormas), untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Peran serta ormas dalam agenda POP menjadi kata kunci. Selama ini peningkatan kopetansi guru dan tenaga kependidikan dilakukan oleh kemendikbud, melalui Dirjen GTK. Namun, atas nama merdeka belajar, sebagaimana slogan mas Mentri Nadiem Anwar Makarim, ormas diberikan hak untuk meningkatkan kopetensi guru melalui wadah yang diberinama Program Organisasi Penggerak (POP).

Sebagaimana yang dilansir pada youtube kemendikbud, menurut mas menteri, tidak sedikit ormas yang memiliki metode bagus dalam peningkatan kopetensi guru dan tenaga kependidikan. Dengan alasan ini, mas menteri memberikan kesempatan kepada ormas untuk berkerjasama dan terlibat dalam penguatan dan  peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan.

Alasan yang lebih mendasar, menurut pengamatan tim mas menteri, ada dua hal yang menjadi indikator assesmen yaitu internasional dan nasional mengenai hasil belajar siswa dan kopetensi guru. menurut data PISA tahun 2018, hasil belajar siswa mengalami penurunan. Begitu juga penilaian AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan, kemampuan matematika dan sains dinilai kurang lebih dari 73 persen, sedangkan bahasa dinilai kurang mencapai 46,83 persen.

Sampai disini dapat dipahami, pelibatan ormas dikehendaki oleh mas menteri untuk mempercepat kerja dan hasil pada sektor pendidikan. Mas menteri ingin membuktikan, bahwa penunjukaannya menjadi menteri membawa perubahan yang revolusioner, perubahan yang cepat terlihat hasilnya, baik menurut indikator internasional ataupun nasional.

Ambisi yang begitu kuat, tidak disertai kehati-hatian serta tidak diiringi dengan konsep yang matang, selalu menyisakan citra lembaga dan perorangan menjadi buruk. Begitu nampaknya yang dialami oleh Kemendikbud dan mas menteri, melalui konsep merdeka belajar, dengan program organisasi penggeraknya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement