Jumat 24 Jul 2020 11:57 WIB

PGRI Nyatakan tak Bergabung Program Organisasi Penggerak

PGRI berharap pemerintah memberikan perhatian pada permasalahan guru

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Gita Amanda
Guru mengajar (ilustrasi). PGRI berharap pemerintah memberikan perhatian pada permasalahan guru
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Guru mengajar (ilustrasi). PGRI berharap pemerintah memberikan perhatian pada permasalahan guru

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). PGRI sebelumnya termasuk dalam daftar organisasi yang lolos seleksi POP dan bisa bekerjasama dengan Kemendikbud.

Di dalam surat pernyataan sikap, Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi mengatakan pihaknya menyatakan mundur disebabkan beberapa alasan. Alasan pertama adalah PGRI menilai anggaran negara sekitar Rp 500 miliar yang dialokasikan untuk POP, lebih baik digunakan untuk menangani permasalahan pendidikan yang terdampak Covid-19.

Baca Juga

"Sejalan dengan arahan Bapak Presiden bahwa semua pihak harus memiliki sense of crisis, maka kami memandang bahwa dana yang dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya 3T demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ)," kata Unifah, Jumat (24/7).

Selain itu, PGRI memandang pemerintah perlu berhati-hati dalam menggunakan anggaran POP. Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, PGRI berpendapat program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Unifah menambahkan, kriteria pemilihan dan penetapan peserta program organisasi penggerak tidak jelas. PGRI memandang, perlunya prioritas program yang sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan.

Lebih lanjut, PGRI berharap pemerintah memberikan perhatian pada permasalahan guru yang harus segera diselesaikan. Permasalahan mendesak antara lain adalah kekosongan guru akibat tidak ada rekrutmen selaam 10 tahun terakhir.

Unifah menambahkan, pemerintah juga perlu memprioritaskan penuntasan penerbitan SK guru honorer yang telah lulus seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Proses seleksi PPPK sudah dilakukan sejak awal 2019 namun hingga saat ini guru yang lolos seleksi belum juga mendapatkan kepastian.

"Dengan pertimbangan di atas, kami mengharapkan kiranya program POP untuk tahun ini ditunda dulu," kata dia lagi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement