REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (NU) Arifin Junaidi, menjelaskan, mundurnya LP Ma'arif NU dari Program Organisasi Penggerak (POP) juga didasari kekhawatiran. Ia khawatir akan beberapa hal.
"Mundurnya kami ini juga didasari oleh kekhawatiran. Tapi kekhawatiran itu kan tidak bisa dijadikan alasan. Kekhawatiran itu kan soal intuisi," ujar Arifin dalam diskusi daring, Sabtu (25/7).
Arifin menyebutkan, ia memiliki intuisi bahwa program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) itu tidak bisa berjalan dengan baik. Ada sejumlah alasan yang membuatnya berpikir demikian. Hal yang paling ia takutkan ialah program tersebut bisa saja akan berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Organisasinya tidak kredibel yang penerima itu, waktunya sangat mepet, nanti bisa jadi masalah urusan dengan KPK nanti. Kalau itu jadi urusan dengan KPK, Ma'arif ada di dalamnya, meskipun Ma'arif tidak urusan dengan KPK, ini bisa terbawa-bawa," katanya.
Ia juga menduga, calon penerima dana POP sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk mendapatkannya sejak awal. NU dan Muhammadiyah, kata dia, diberikan kesempatan mendapatkannya hanya untuk dijadikan legitimasi atas program tersebut.
"Masukan saya, jangan sampai ada organisasi yang hanya dijadikan legitimasi untuk program ini. Jadi harus benar-benar profesional pertimbangannya. Jangan sampai NU- Muhammadiyah masuk hanya untuk dilihat program ini bagus," jelasnya.
Sebelumnya, dia telah mengonfirmasi pihaknya mundur dari POP Kemendikbud. Arifin mengatakan, sejak awal program ini cukup aneh. "Sejak awal program ini aneh, kami ditelpon untuk ajukan proposal dua hari sebelum penutupan. Kami nyatakan tidak bisa bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami diminta ajukan saja syarat-syarat menyusul," kata Arifin, dalam keterangannya, Selasa (22/7).
Arifin menambahkan, proposal dari pihaknya pada 5 Maret dinyatakan ditolak. Namun, setelah itu pihaknya menghubungi lagi untuk melengkapi syarat-syarat. Selanjutnya, pihaknya juga diminta surat kuasa dari PBNU namun ditolak oleh Arifin karena sesuai AD/ART tidak perlu surat kuasa. "Kami terus didesak, akhirnya kami minta surat kuasa dan memasukkannya di detik-detik terakhir," kata dia lagi.
Akhirnya, pihaknya dihubungi untuk mengikuti rakor soal POP. Namun dia mengatakan belum mendapatkan SK dan penetapan penerimaan POP serta undangan.
"Dari sumber lain, kami dapat daftar penerima POP, ternyata banyak sekali organisasi/yayasan yang tidak jelas ditetapkan sebagai penerima POP," kata Arifin menambahkan.