REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akhmad Khoirul Fahmi, Mahisa Pasca Sarjana Unsud dan Pemerhati Sejarah Islam Pasca Diponegoro
Sultan HB IX memulai pemerintahanya dalam suasana tidak pasti. Negeri Belanda telah diduduki NAZI, serta wilayah Hindia Belanda terancam diduduki Jepang. Dua bulan setelah penobatan, ia dipanggil Gubernur Jenderal di Jakarta, bersama Gubernur Yogyakarta Dr Adam dan anggota Raad van Indie Ch. O. van der Plas.
Dalam pertemuan itu diambil keputusan: (1) Kota Bandung akan dijadikan benteng terakhir dan dipertahankan selama mungkin, (2) Apabila Jepang datang menyerang, empat keluarga kerajaan di Jawa, terutama Sultan HB IX dan Susuhunan Surakarta, hendaknya ikut dengan Belanda menyingkir ke Australia.
Ajakan ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan HB IX waktu itu, “Apa pun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogja. Justru bila bahaya memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat”.
Peristiwa susul menyusul kemudian. Pendudukan Tentara Jepang berjalan begitu cepat. Pada 1 Maret 1942, satuan tentara Jepang mendarat di berbagai tempat di Pulau Jawa. Pada 5 Maret 1942 kota Yogyakarta diduduki, dan tanggal 8 Maret 1942, Bandung yang diharapkan menjadi benteng pertahanan terkuat menyerah tanpa syarat kepada balatentara Dai Nippon.
Ada rencana Belanda untuk menculik Sultan HB IX dan kemudian akan dibawa ke Australia bersama raja-raja dari keraton lain di Jawa. Rencana penculikan itu diketahui kemudian, yaitu melalui instruksi kepada suatu kecamatan di daerah Yogya. Seorang camat—dijabat Selo Sumarjan-- mendapat instruksi agar menebang semua pohon kelapa antara Yogya dan Wates, di area sepanjang tiga kilometer.
Di tempat itu akan didaratkan pesawat terbang berikut sejumlah kesatuan tentara. Penculikan ini gagal, keburu Jepang masuk Jogja. Jika Belanda mampu membawa raja raja di Jawa ke Australia, tentu akan menjadi semacam “sandera”, dalam siasat politik mereka untuk mempertahankan Hindia Belanda.
Mengendalikan Pemerintahan dan Pembangunan Selokan Mataram
Ketika Hindia Belanda telah menyerah kepada Jepang, langkah menyelamatkan kekuasaan Kesultanan Jogjakarta adalah pertama Ia mengatakan kepada tentara pendudukan Jepang agar segala hal menyangkut daerah Kesultanan Yogya dibicarakan dulu dengan Sultan. Ia dengan sendirinya secara langsung mempimpin rakyat kerajaaannya.
Langkah kedua yang dianggap penting adalah menyingkirkan kekuasaan sehari-hari yang masih di tangan Pepatih Dalem. Sebelumnya, pejabat ini, merupakan pegawai kesultanan sekaligus pegawai pemerintah Hindia Belanda. Kepada Pepatih Dalem sendiri dikeluarkan perintah agar untuk selanjutnya hanya bertindak atas perintah Sultan.
Atas hal tersebut, Jepang memutuskan mengukuhkan kedudukannya kembali sebagai Sultan Yogya. Sultan HB IX dilantik untuk kedua kali sebagai Sultan oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepag yang dilakukan di Jakarta. Sultan HB IX menerima wewenang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamakan Kochi (Daerah Istimewa).
Biasanya Kochi diberikan kepada kepala Pemerintahan yang disebut Gunseikan (Kepala Pemerintahan militer yang dijabat staf tentara). Perintah dan petunjuk tentara pendudukan Jepang ini memberikan peluang bagi HB IX untuk lebih aktif memerintah secara langsung di daerahnya.
Peluang ini memberikan kesempatan yang baik baginya untuk memecah wewenang yang semula di tangan Pepatih Dalem menjadi enam jawatan pada tahun 1944, kemudian dilebarkan lagi menjadi tujuh jawatan pada tahun 1945.
Sebagaimana diketahui, masa pendudukan Jepang, sekalipun singkat digambarkan penuh dengan penderitaan rakyat. Serdadu Jepang sering bertindak kasar main tempeleng kepada penduduk. Rakyat di daerah yang dikuasai Jepang dituntut untuk menyediakan beras, ternak, bahan pakaian bahkan intan berlian hingga tenaga manusia untukmemenuhi kebutuhan perang mereka. Puluhan ribu tenaga manusia dikerahkan sebagai romusa.
Apabila di berbagai daerah mengalami penderitaan demikian, di Yogyakarta dapat dikatakan lebih mujur. Sultan HB IX menolak permintaan Jepang sama sekali itu tidak mungkin, tetapi Sultan HB IX kemudian bersiasat dengan tentara Jepang. Siasat yang dipakainya adaah “menyembunyikan” angka-angka statistik yang sebenarnya di daerah Yogya, baik menyangkut jumlah penduduk, hasil panen dan jumlah ternak.
Dengan cara itu, ia berhasil menekan jumlah padi, ternak dan makanan lain yang diminta oleh Jepang. Bahkan ia mampu meyakinkan kepala Pemerintahan Jepang,bahwa daerahnya itu minus dan tidak mampu menghasilkan bahan pangan yang mencukupi kebutuhan penduduk.
Pertimbangannya adalah: (1) Wilayah Yogyakarta terlalu sempit, (2) Di wilayah sempit itu tanah yang dapat ditanami hanya sedikit, karena sebahagian selalu tergenang air pada musim hujan, sedangkan didaerah-daerah lain yang terlalu kering dan tak subur sama sekali untuk pertanian.
Dengan alasan agar mampu membantu menyumbangkan hasil bumi untuk bala tentara Jepang, Sultan HB IX berdiplomasi agar diberi bantuan dana untuk membangun sarana irigasi, yang dikenal kemudian sebagai Selokan Mataram.
Program dana dari Jepang itu berupa: (1) Membangun saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah tergenang ke laut, terutama di daerah Adikarto sebelah selatan; (2) Membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke daerah kering yang kekurangan air di daerah Sleman ke arah Timur.
Kedua proyek saluran ini pada waktu itu mampu membantu wilayah Yogya menekan kekurangan pangan, sekalipun sebagian hasilnya harus disetorkan kepada Jepang. Pembangunan saluran air sepanjang puluhan kilometer ini memberi manfaat lain, terhindarnya ratusan sampai ribuan warga Yogya dari panggilan romusha.
Sebab, pembangunan saluran ini tentu harus dilengkapi pembangunan bendungan, tanggul, jembatan dan lain-lain yang memerlukan tenaga manusia. Hal inilah yang dijadikan alasan Sultan HB IX menolak perintah pengiriman penduduk untuk dijadikan romusa.
Wallahu ‘alam Bishowab