REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada 75 tahun lalu, tepatnya pada Juli 1945, manusia mulai terdorong masuk ke era nuklir setelah uji coba di gurun New Mexico. Beberapa pekan setelah uji coba yang dikenal sebagai Trinity Test itu, dua bom atom kemudian dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.
Meski di dekade setelahnya tidak ada alat nuklir lain diledakan di medan perang, tes dan studi militer terkait ini masih berlanjut. Utamanya, para arkeolog luar angkasa yang kini tengah mencari cara untuk memperingatkan umat manusia tentang masa depan bahwa tempat di mana percobaan ini dilakukan masih berbahaya.
Jenis plutonium yang digunakan dalam Uji Trinity, plutonium-239, memiliki waktu paruh 24 ribu tahun. Artinya, setelah waktu ini, hanya setengahnya yang akan membusuk menjadi elemen aman, non-radioaktif.
"Bagaimana cara kami berkomunikasi dengan orang yang tinggal di sana bahwa situs itu berbahaya?" ujar Alice Gorman, profesor di Universitas Flinders di Adelaide, Australia, dikutip Jerusalem Post, Senin (27/8).
Gorman menambahkan, masalah ini membawa dua hal yang menantang. Pertama, materi apa yang dapat bertahan dengan waktu sangat lama. Kedua, bahasa yang dapat diungkapkan untuk menyampaikan pesan sebenarnya bahwa tempat itu berbahaya.
"Adapun kesulitan pertama, kita tahu bahwa batu dan tembikar bertahan sangat lama," katanya.
Namun demikian, di poin kedua dia menjelaskan, ada banyak pertanyaan arkeologis terkait dengan komunikasi simbolik. Dia menganalogikan, jika menilik seni cadas dari 20 ribu tahun lalu, manusia dapat melihat bahwa ada gambar-gambar binatang, tetapi kita tidak tahu apa artinya gambar-gambar itu.
‘’Oleh karena itu, ada kemungkinan bahwa simbol kita saat ini untuk menandai situs radioaktif, tanda hitam [dan], akan ditafsirkan sebagai undangan untuk menjelajahi daerah tersebut, daripada menjauhkannya,” ungkap dia.
Dia menjealskan, permasalahan nuklir ini akan sangat penting bagi arkeolog masa depan. Sebab, dalam beberapa kasus, tidak relevannya permukaan, terlebih karena limbah nuklir dan radiasi dalam tanah akan sangat berisiko bagi penggalian.
‘’Misalnya, seperti kasus Maralinga, daerah terpencil di selatan Australia di mana Inggris melakukan beberapa uji coba nuklir,’’ tambah dia.
Dia melanjutkan, langkah itu sejalan dengan uji coba nuklir di luar angkasa, serta bahan bakar nuklir yang digunakan sebagai propelan untuk roket.
Menurut dia, jika Perjanjian Luar Angkasa PBB 1967 melarang senjata nuklir di luar angkasa, masalah persenjataannya akan tetap sangat relevan. "Baru-baru ini, Rusia juga menguji senjata anti-satelit, dan membangkitkan kembali perdebatan," kata Gorman.
Namun, periode pasca perang dunia kedua, masih diamati. Terlebih, ketika roket yang sama yang telah dikembangkan sebagai rudal mulai mengirim pesawat ruang angkasa ke orbit.
"Kami tertarik pada semua yang ada di bumi, seperti situs peluncuran roket atau pelacakan antena dan pengembangan penerimaan, serta kota atau daerah perumahan di mana orang yang bekerja pada proyek ini tinggal, tetapi juga satelit, sampah ruang angkasa dan semua tempat di planet lain di mana manusia mengirim wahana antariksa," ucap dia.
Gorman menambahkan, upaya pendaratan unit robot di bulan dengan misi Beresheet oleh Israel merupakan perkembangan yang sangat menarik bagi para arkeolog luar angkasa. Sebab, ketika negara-negara baru telah mulai mencapai bulan, maka akan membawa lebih banyak keanekaragaman di luar angkasa.