REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pascasarjana Unsud dan Pemerhati Sejarah Islam Pasca Diponegoro
Keputusan mengikuti wisik atau bisikan ghaib saat sebelum menandatangani kontrak politik dengan Gubernur Dr Adam, seakan menihilkan semua kemampuan rasionalitas yang selama puluhan tahun ia pelajari dari sikap pendidikan disiplin rasional ala Belanda.
Namun sebagai orang Jawa, Sultan HB IX yakin dan percaya bahwa petunjuk yang diyakininya dari nenek moyangnya (Sultan HB I) itu benar dan harus diikuti. Pendidikan kesederhanaan, rasionalitas dan disiplin ala Belanda tentu berguna dalam sisi lain. Inilah sikap yang kemudian dilakukan ketika memasuki masa pendudukan Jepang dan lahirnya Republik Indonesia. Pendidikan Barat membuatnya bersikap demokratis, terbuka terhadap hal-hal baru dan gagasan pembaharuan.
Tentunya pengaruh rencana pola pendidikan yang telah dilakukan ayahnya—sekalipun menjadikan secara pribadi ia tak begitu mengenal ayahnya—menjadi penting dicermati untuk melahirkan kharakter kepemimpinan. Tidak semata pada Dorodjatun, sebab saat itu sang Ayah sendiri belum ditabalkan menjadi Sultan. Terlebih lagi dirinya, tidak akan mengira-ngira terlalu jauh peran apa yang akan dijalaninya nanti.
Hanya ayahnya menangkap gejala zaman akan perubahan-perubahan tatanan sosial yang kiranya akan dihadapi anak-anaknya. Maka ketika dalam perundingan dengan Dr Adam, seluruh keluarga keraton memiliki sikap yang kompak. Inilah mungkin yang dimaksud mencoba berani belajar kepada bangsa yang menjadi musuhnya sekalipun, agar paling tidak mengerti bahasa dan jiwa mereka.
Sesungguhnya sikap-sikap responsif atas perubahan dalam Keraton Jogjakarta sudah dimulai pada masa Sultan HB VII. Di akhir abad ke-19 mulai muncul gagasan-gagasan perubahan dalam pelbagai bidang. Diantaranya dalam bidang keagamaan, seperti munculnya pemahaman pembaharuan Islam di Lingkungan Keraton yang diinisiasi M Darwis, yang dikemudian hari dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan.
Sultan HB VII, tidak melarang aktifitas pengajian yang jelas menyasar pada pelbagai perubahan dalam memahami doktrin keagamaan yang telah kuat di Keraton. Sultan HB VII diceritakan ikut membiayai studi Muhamad Darwis dalam keberangkatan ke Mekkah untuk kedua kali, setelah timbul suatu kondisi konflik di mesjid keraton.
Selain untuk menetralisir konfliik untuk sementara waktu, Sultan HB VII juga berpesan agar Darwis semakin mempelajari gagasan-gagasan para sarjana di tanah suci. Dan dikemudian hari ketika Muhammadiyah menjadi suatu organisasi sosial-keagamaan, Sultan VII menggunakan gerakan ini untuk mentralisir gerakan kelompok zending yang memang diijinkan dan didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Artinya, gagasan perubahan-perubahan memang dilakukan dengan mengikuti zeitgest (semangat zaman) saat itu. Demikian pula atas yang terjadi pada pola pendidikan Dorodjatun dan saudara-saudaranya. Sekalipun ada tanggapan, apakah nanti tidak akan kehilangan “kejawaan”nya dan berubah menjadi “Kebelanda-belandaan”? Hal itu tetap tidak menyurutkan keputusan ayahnya untuk mendidik anak-anaknya untuk mengerti pola pendidikan ala Belanda yang rasional, terbuka dan disiplin.
Tentu ini suatu pertaruhan. Apakah ayahnya Dorodjatun sudah akan mengetahui perubahan-perubahan apa saja yang akan terjadi? Kiranya tidak selalu demikian. Namun pastinya, untuk mengalahkan suatu kekuatan besar yang sudah mencengkeram lama di Keraton Mataram, perlu menguasai bahasa mereka, dan memahami taraf pengetahuan yang dimiliki dan yang terpenting jiwa dari kalangan Belanda.
Pengakuan Proklamasi 17 Agustus 1945
Oleh karena itu, setelah mendengar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tanpa ragu-ragu sedikitpun, sehari setelahnya, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Sultan HB IX langsung mengetok kawat kepada kedua proklamator Soekarno-Hatta dan kepada dr Radjiman Wedyodiningrat, selaku ketua BPUPK, dengan spontan ia mengucapkan selamat atas terbentuknya negara republik Indonesia.
Dua Hari kemudian, tanggal 20 Agustus 1945, ia mengirim telegram. Kali ini selaku Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta dan ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama. Secara spontan ia menyatakan, “sanggup berdiri di belakang pimpinan” mereka. Kedua pernyataan per kawat ini diikuti oleh pernyataan dan cara yang sama dari Paku Alam.
Beberapa minggu kemudian di Yogya atas anjuran Pemerintah Pusat dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI)daerah Yogyakarta. Atas persetujuan komite dikeluarkan amanat Sultan Hamengkubowono IX pada 5 September 1945. Isi pokok dari amnat itu adalah:
Pertama: Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI.
Kedua: Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengkubowono IX.
Ketiga: Hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan Hamengkubowono IX bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI.
Surat pernyataan ini ditanggapi positif oleh pemerintah pusat. Keesokan harinya, 6 September 1945, dua utusan pemerintah—para menteri negera Mr. Sartono dan Mr. A.A. Maramis—datang ke Yogyakarta untuk menyampaikan piagam penetapan mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Piagam penetapan ini tertanggal 19 Agustus 1945 atau sehari setelah dikirimkannya ucapan selamat yang pertama dari Sultan HB IX. Isi Piagam ini menyatakan:
“Kami Presiden Republik Indonesia, menetapkan: Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono Senopati Ing Ngalaga Abdurahman Sayidin Panataagama Kalifatullah ingkang kaping IX ing Ngayogyakarta Hadiningrat, pada kedudukannya, dengan kepercayaan bahwa Sri Paduka Kanjeng Sultan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.”
Sultan HB IX tanpa keraguan sedikitpun menyatakan berdiri dibelakang republik yang menjadikan bahwa dirinya adalah seorang Republikan. Pada saat itu istilah Republikan sesuatu yang berharga dan suatu pilihan, sebab beberapa saat kemudian Belanda yang ingin mengambil alih kembali wilayah bekas Hindia-Belanda dengan segala cara mencoba mempengaruhi banyak tokoh penting di wilayah Hindia Belanda dengan pola politik pecah belah, termasuk juga dengan konsep negara persekutuan Uni Indonesia Belanda dan konsep Negara Serikat ala Van Mook.
Dari hal inilah dapat dirasakan pengetahuan selama belajar ilmu tatanegara kepada Prof Schrieke berguna pada diri Sultan HB IX. Sebagai seorang republikan yang patriot, pada awal proklamasi Sultan HB IX menyediakan kota Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan republik yang baru lahir tersebut.
Menyusul situasi tak terkendali di Jakarta atas apa pimpinan Republik, pada 4 Januari 1946 berpindahlah ibu kota ke kota Jogja. Tidak sekedar pindah, tentu juga menyedikan sarana dan pendanaan bagi puluhan ribu orang yang berpindah ke Jogja.
Kota Yogya menjadi ibu kota perjuangan, banyak orang dari berbagai kelompok dan golongan berkumpul di kota ini. Dan tentu saja para prajurit TNI yang baru dibentuk dengan segenap keterbatasan yang dimiliki.
Bung Hatta mengatakan bahwa jumlah uang yang disumbangkan oleh Sultan HB IX jika dihitung mungkin tidak kurang dari lima juta gulden. Sultan HB IX sendiri ketika ditanya perihal itu hanya menjawab diplomatis, “..Ah, nggak mungkin ingat, ngambilnya saja begini—sambil menirukan gerakan orang yang mengambil dengan dua telapak tangan, seperti menyendok pasir dengan tangan.”
Uang itu dibagi-bagikan untuk keperluan gaji aparat pemerintah RI, keperluan pasukan dan unit PMI. Inilah sikap patriot sesungguhnya, tidak sekedar menyerahkan kekuasaannya sebagai sultan berdiri dibelakang pimpinan RI, namun juga membantu ketika masa-masa sulit.
Hal ini juga akan dibuktikan lebih jauh ketika posisi Republik benar-benar terjepit ketika Yogyakarta telah diduduki oleh Belanda tanggal 18 Desember 1948, yang mana Belanda mengira Republik Indonesia telah tamat.
---------
Sumber: Buku Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan Hamengkubowono IX, Atmakusumah (Penyunting), Kompas Gramedia, Jakarta, 2002.