Selasa 28 Jul 2020 05:32 WIB

Cacat Naskah Akademik Omnibus Law Cipta Kerja

Pemerintah tetap tancap gas membahas RUU Cipta Kerja di tengah pandemi.

Aktivis Gerakan #BersihkanIndonesia membawa cermin saat mengikuti aksi di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/7/2020). Aksi tersebut untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Aktivis Gerakan #BersihkanIndonesia membawa cermin saat mengikuti aksi di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/7/2020). Aksi tersebut untuk menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahrul Aidi Ma’azat, Anggota Komisi V DPR RI F-PKS

Hingga kini penderita Covid-19 di Indonesia masih terus mengalami peningkatan, Pemerintah dinilai gagal membendung penyebaran Covid-19 ini, yang mengakibatkan dibubarkannya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Namun hal ini tidak membuat Pemerintah semakin fokus dalam penanganan Covid-19, tetapi malah tancap gas dalam pembahasan RUU Cipta Kerja. Bahkan di masa reses dikebut untuk dibahas seperti yang terjadwal pada Rabu, 22 Juli 2020.

RUU Cipta Kerja ini mengangkat persoalan klasik yang sering dituding sebagai penyebab lemahnya investasi yang masuk ke Indonesia, yaitu lamanya proses perizinan. Menurut pemerintah proses perizinan yang lama adalah akibat banyaknya syarat yang harus dipenuhi oleh investor sebelum mereka dapat menanamkan modalnya di Indonesia.

Pemerintah menggadang-gadang RUU Cipta Kerja dapat menjawab persoalan tersebut dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun tanpa sedikitpun pemerintah mampu memberikan bukti berapa pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan akan dicapai jika RUU Cipta Kerja ini berhasil disahkan oleh DPR.

Selain itu draft RUU dan Naskah Akademik nya pun terkesan dipaksakan untuk segera masuk dan dibahas. Banyak sekali inkonsistensi dan ketidakjelasan konsep dalam draft dan NA RUU Cipta Kerja, di mana RUU ini akan merevisi 78 UU tetapi argumentasi yang diberikan sangatlah sedikit.

Sebagai contoh, salah satu UU yang akan direvisi melalui RUU Cipta Kerja ini adalah UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Dalam RUU ini 80 persen substansi UU No. 28 Tahun 2002 akan direvisi, di mana 60 persen di antaranya merupakan penghapusan materi muatan UU. Alasan yang paling banyak dikemukakan terkait revisi UU No. 28 Tahun 2002 ini adalah banyaknya tumpang tindih aturan.

Namun Pemerintah tidak dapat membuktikan satu ayat pun dari UU No. 28 Tahun 2002 ini yang tumpang tindih dengan UU lainnya. Selain itu Pemerintah tidak memberikan argumentasi yang cukup dalam Naskah Akademik karena hanya menyediakan penjelasan sebanyak 1,5 halaman. Padahal dapat dibayangkan, sebuah UU yang separuh isinya dihapuskan sudah pasti kehilangan ruh pengaturannya.

Walaupun Pemerintah menjanjikan aturan yang dihapus ini akan dipindahkan ke dalam PP, akan tetapi akibat pelemahan ini justru dapat berakibat pada ketidakpastian berusaha bagi pengusaha. Sebab aturan-aturan ini dapat saja sewaktu-waktu diubah kembali karena tidak memiliki kekuatan seperti dalam UU.

Beberapa isu yang mengemuka dari revisi UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung ini adalah dihapuskannya peran Pemerintah Daerah dalam membina wilayahnya melalui penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sebab dalam RUU ini IMB akan diganti menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) yang nantinya akan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, yang belum tentu mengerti kondisi wilayah yang ada di berbagai daerah mengingat betapa luasnya wilayah Indonesia dan betapa khasnya permasalahan di setiap daerah. Juga mengurangi semangat otonomi daerah yang tercantum dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 Amandemen ke-2.

Isu lainnya adalah dihapuskannya materi muatan terkait persyaratan Bangunan Gedung di mana di dalamnya terdapat berbagai aturan terkait keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Semua itu sudah barang tentu dapat membahayakan pengguna gedung dan bisa jadi sebuah bangunan gedung tidak lagi ramah bagi penyandang cacat dan lansia apabila persyaratan-persyaratan tersebut tidak wajib dipenuhi.

Kemudian terdapat pula isu terkait proses penerbitan PBG (dulu IMB) dan SLF yang berpotensi menimbulkan praktek persaingan usaha yang tidak sehat dan menyuburkan praktek percaloan. Pasalnya jangka waktu antara penerbitan PBG dengan pendirian Bangunan Gedung tidak lagi dibatasi.

Karena itu, mengingat lebih dari 80 persen materi muatan UU No. 28 tahun 2002 akan direvisi melalui RUU Cipta Kerja ini, maka FPKS mendorong agar pembahasannya dikembalikan ke Komisi V yang secara khusus membidangi persoalan Bangunan Gedung. Hal ini dibutuhkan agar dapat membahas lebih dalam revisi UU tersebut dengan mengundang pakar khusus terkait UU yang direvisi.

FPKS juga meminta Pemerintah menghadirkan argumentasi yang memadai terkait indikasi adanya tumpang tindihnya peraturan dalam UU No. 28 tahun 2002 ini dengan UU lainnya. Tumpang tindih itu menyebabkan UU ini harus direvisi melalui kajian empirik dan bukan melalui hipotesa yang subjektif tanpa data yang valid.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement